BUDAYA NGAMBENG GERAKKAN INTERNALISASI NILAI-NILAI BUDAYA MEMBENTUK PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK DI DESA BEDULU

Senin, April 11, 2016

Pada era globalisasi dewasa ini, penetrasi budaya asing semakin dominan dalam kehidupan anak-anak. 

Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang lebih manyukai irama musik disko dengan tari modern dance yang dianggapnya modern, bermain game playstation atau boneka barbie, daripada mengenal gong kebyar, legong kraton, dan memainkan permainan tradisional, seperti metajog atau macecimpedan. Pada umumnya anak sekarang lebih menyukai ceritera power rangers dan memuja tokoh naruto dalam film kartun Jepang daripada menyukai ceritera bawang kesuna dan memuja tokoh Gatot kaca. 

Nilai sosial sebagai bagian dari nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita dinilai kurang terinternalisasikan dengan baik kepada anak-anak dewasa ini. Gempuran teknologi modern yang cenderung melemahkan nilai-nilai sosial anak dinilai sebagai salah satu penyebabnya.

Kurangnya internalisasi nilai-nilai budaya pada anak sejak dini menyebabkan anak sering berprilaku melenceng dari norma-norma atau kaidah dalam masyarakat. Anak akan susah melakukan aktivitas sosial dan mengembangkan daya emosionalnya dalam hal berinteraksi dalam masyarakat. 


Jika kondisi tersebut terjadi pada sebagian besar anak-anak tentu saja menjadi ancaman terhadap generasi penerus bangsa kita pada masa yang akan datang, sebab setiap bangsa mengharapkan generasi penerusnya memiliki potensi besar dalam hal mengembangkan daya berpikir positif yang dimulai dari pemahaman secara mendalam terhadap nilai-nilai budayanya. 

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya menginternalisasi nilai-nilai budaya terhadap perkembangan sosial dan emosional anak-anak sejak dini. Salah satu model tradisi upaya menginternalisasi nilai-nilai budaya terhadap perkembangan social anak yang masih tetap lestari hingga saat ini adalah kegiatan mengumpulkan bahan-bahan upacara wali di Pura Samuan Tiga desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh yang dilakukan oleh anak-anak usia SD di desa-desa sekitar Pura Samuan Tiga yang dikenal dengan sebutan “Ngambeng”.
Anak-anak Sekolah Dasar Bedulu Melaksanakan Ngambeng

Kegiatan “Ngambeng” dilakukan beberapa hari menjelang upacara wali di Pura Samuan Tiga dilakukan oleh anak-anak usia SD secara berkelompok mendatangi rumah-rumah warga sekitar untuk meminta apa saja yang bisa disumbangkan untuk upacara wali di Pura Samuan Tiga. Warga yang rumahnya dikunjungi anak-anak akan dengan suka cita menerima kehadiran anak-anak ngambeng sekaligus menyerahkan barang-barang yang dimiliki untuk dibawa anak-anak ke Pura Samuan Tiga. 

Jika warga memiliki pisang atau kelapa, maka barang itulah yang diserahkan.Tidak sedikit warga yang menyerahkan beras, daun kelapa muda (busung), buah nangka muda, kacang panjang, kacang-kacangan, dan sebagainya. Intinya, apapun barang yang dimiliki yang sekiranya dapat dimanfaatkan untuk memperlancar persiapan upacara wali di Pura Samuan Tiga akan dengan suka rela dititipkan ke anak-anak yang sedang datang ngambeng. Setelah mengumpulkan barang-barang sumbangan warga, kelompok anak-anak ngambeng akan berjalan beriringan membawa barang-barang itu ke Pura Samuan Tiga diserahkan ke panitia upacara wali.

Internalisasi Budaya

Internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri orang yang bersangkutan. Jika sosialisasi lebih ke samping (horizontal) dan lebih kuantitatif, maka internalisasi lebih bersifat vertikal dan kualitatif. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik-metodik pendidikan dan pengajaran, seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain-washing, dan lain sebagainya (Ronquillo, 2011)

Makna Perkembangan Sosial Anak

Syamsu Yusuf (2007) menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.

Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, artinya belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.

Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan tingkat hubungan sosial juga berkembang menjadi sangat kompleks.

Tradisi “Ngambeng” Anak-anak di Desa Bedulu

Tradisi “ngambeng” di desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar merupakan suatu kegiatan mengumpulkan bahan-bahan untuk keperluan persiapan upacara piodalan/wali di Pura Samuan Tiga dari masyarakat yang dilakukan oleh anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Istilah “ngambeng” berasal dari kitab sarasmuscaya yang berakar dari kata “ambeng” berarti tumbuhan sejenis rumput ilalang. 


Tumbuhan ini biasanya dimanfaatkan untuk melengkapi upacara keagamaan. Selain bermakna tumbuhan ilalang, para leluhur warga Bali sering memberikan petuah agar kita meniru filsafat tumbuhan ambengan. Ketika masih kecil sangat tajam, ketika tua merunduk dan dapat dugunakan untuk atap tempat berteduh dari kepanasan dan kehujanan. Hal itu mengandung makna: selagi muda kita harus giat belajar karena daya ingatnya sangat tajam sehingga ketika dewasa ilmu yang dipelajari itu dapat dimanfaatkan untuk membuat teduh masyarakat. 

Pura Samuan Tiga, Bedulu Gianyar
Kegiatan “ngambeng” bagi anak-anak di desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar merupakan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun tak ada yang berani mengubahnya atau mengganti dengan bentuk lain. Bagi masyarakat Bedulu dan luar Bedulu (desa Wanayu, Semabaung, Tegallinggah, Tengkulak, Kemenuh, Peliatan, dan Pejeng) kegiatan “ngambeng” adalah bagian dari kegiatan ritual terkait dengan upacara wali di pura Samuan Tiga. 

Warga di desa Bedulu dan luar Bedulu merasa mendapat berkah dari Dewa yang berstana di Pura Samuan Tiga ketika rumahnya dikunjungi anak-anak berbusana adat Bali madya meminta sumbangan material yang bisa digunakan untuk persiapan upacara wali di Pura Samuan Tiga. Bentuk rasa syukurnya, mereka dengan tulus menyumbangkan bahan material yang dimiliki yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk upacara wali di Pura Samuan Tiga.

Di balik ketulusan warga menyumbangkan material dan antusias anak-anak desa Bedulu melakukan kegiatan “ngambeng” sesungguhnya yang terpenting kaitannya dengan kajian psikologis anak adalah telah terjadi internalisasi nilai-nilai budaya bagi perkembangan sosial anak. Rasa saling memiliki, kegotong-royongan, ikhlas memberi sesuatu yang kita miliki serta peduli sesama merupakan sekian dari banyaknya nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi “ngambeng” di desa bedulu yang secara tidak langsung terinternalisasi kepada anak-anak sehingga membentuk perkembangan sosial anak bangsa yang berkarakter.

You Might Also Like

0 komentar

Paling Banyak Dibaca

Subscribe