Menjadi Perempuan Bali itu, Berat

Jumat, Januari 04, 2019






Berat,


seperti berat badan para Perempuan Bali yang terus bertambah karena makan daging babi mengingat dalam periode Hari Raya Galungan-Kuningan. 



Kembali, ini opini saya dan juga sebagian besar Perempuan Bali yang saya kenal. Saya yakin sebagian besar perempuan Bali setelah membaca ini pasti setuju. 



Baik, akan saya wakilkan kalian untuk menyampaikan kegelisahan-kegelisan itu. Kalau kamu (pembaca) tidak cukup open minded diharapkan untuk berhenti membacanya. 

Sebelumnya saya pernah menuliskan di blog ini tentang kegelisahan saya terhadap pemahaman kasta yang keliru di Bali, menjadi tulisan yang paling banyak dibaca disini.

Berat, 

Rasanya ingin bawa headphone kemana-mana tiap kali berkumpul dengan para tante-tente girang yang senantiasa membanjiri saya dengan pertanyaan 

“Kamu pacarnya orang jawa pasti” 

“Ahh Iluh mah gak nyari orang Bali, pasti orang jawa” 

“Iluh mah seleranya bule, banyak uangnya biar bisa memperbaiki keturunan” 

“Masak pacarnya orang jawa, gak kasian orang tua kalau ditinggal jauh-jauh” 

Dan masih banyak lagi.

Come on, memang ada apa dengan orang jawa? (NB: kebanyakan orang Bali yang saya kenal mengatakan orang luar Bali itu orang Jawa, walaupun asalnya dari Aceh) kedua orang tua saya saja tidak masalah anaknya memilih dengan siapa, kadang memang heran dengan mereka. 

Begitulah lingkungan tempat saya tinggal, segala pertanyaan dilempar mentah tanpa disaring, tidak memikirkan apakah perkataan tersebut tidak akan menyinggung perasaan. Padahal, kita ditanamkan nilai-nilai Tri Kaya Parisudha sejak kecil; Wacika (berkata yang baik). Sampai sekarang pun saya selalu merespon dengan selow dan mengambil positifnya tetapi kadang-kadang gatel juga ingin ku memanggil Young Lex eh salah. 

Memang, saya termasuk orang yang jarang ada dirumah tetapi sekalinya ada waktu berdiam cukup lama, beberapa teman akan menghubungi untuk sekedar ngeteh bareng di warung. 

Bukannya berita bahagia karena menambah anak lagi atau menikah muda. Namun malah sebaliknya, sebagian besar teman saya malah bercerita bagaimana tidak enaknya fase setelah menikah; mengurus anak disaat harus tetap bekerja dan juga deal dengan adat-istiadat ditambah hubungan mereka dengan sang mertua. Kompleks banget macam basa rajang (campur-campur). 

Baik, sebelum membahas kegelisahan saya akan hal-hal tersebut. Saya ingin menjelaskan sedikit mengenai bagaimana beratnya menjadi Perempuan Bali yang “tercemplung” di dalam Budaya Patriarki sejak kecil. 

Keadaan ini adalah dimana lelaki menjadi otoritas utama yang sentral dalam segala bentuk organisasi sosial, termasuk keluarga. Singkatnya para lelaki Bali memiliki keunggulan otoritas dalam berbagai bidang, seperti penentuan garis keturunan patrilineal ekslusif, hak waris, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, politik atau agama, dan lain-lain. 

Bagaimana Perempuan Menurut Pandangan Hindu? 


Menurut Pandangan Hindu kedudukan laki-laki dan perempuan sama-sama terhormat, yang membedakan adalah tugas dan tanggungjawabnya sebagai kodrat manusia (guna karma). Sebagai kodrat manusia laki-laki dan perempuan memang berbeda, hal ini dikarenakan manusia lahir tidak dapat menghindari hukum rwabhineda, dua hal yang berbeda ada laki-laki dan perempuan, baik buruk, suka dan duka, gagal dan berhasil. 

Sejak Awal Peradaban Agama Hindu yaitu dari Zaman Veda hingga dewasa ini perempuan senantiasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Hal ini tidak mengherankan bila ditinjau dari konsepsi Ajaran Agama Hindu dalam Siwa Tattwa, yang mengatakan bahwa adanya keberlangsungan kehidupan di dunia karena perpaduan antara unsur suklanita dan sperempuan. Tanpa sperempuan tak mungkin ada dunia yang harmonis. 

Bahkan menurut kitab Manawadharmasastra disebutkan bahwa antara perempuan dan laki-laki diumpamakan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan. 

Begitu juga Sloka 57 mengatakan bahwa: 

Cosanthi jamayo yatrah Winacyatyacu tatkulam, Na cocanti tu yatraita Wardhate taddhi sarwada"

Artinya : ”Di mana warga perempuan hidup dalam kesedihan keluarga itu cepat akan hancur, tetapi di mana perempuan tidak menderita keluarga itu akan selalu bahagia”. 

Dari penjelasan seloka di atas, menyatakan bahwa perempuan merupakan cerminan dari kebahagian dalam setiap keluarga. 

Perempuan begitu diagungkan dalam ajaran kita….. 




Namun dalam kenyataannya, khususnya dalam penerapan hukum adat di Bali masih sangat kontras dengan adanya ketidaksetaraan gender. Hukum adat di Bali sangat kental dipengaruhi oleh budaya partriarki, di mana di dalam Hukum Adat Bali kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. 

Budaya patriarki masih memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki. Terutama dalam hal perkawinan adanya konsep purusa predana yang dianut oleh Masyarakat Bali sebagai refleksi dari ajaran Agama Hindu tentang jiwa (purusa) yang identik dengan laki-laki dan material (predana) yang identik dengan perempuan. Tetapi akan sangat keliru jika kemudian konsep predana dan prakerti ini diidentikkan dengan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Karena pada kenyataannya setiap manusia dalam Pandangan Hindu disebut bhuwana alit memiliki kedua asas tersebut. 

Kekeliruan dalam merefleksikan pemahaman akan konsep purusa dan pradana dalam wujud laki-laki dan perempuan telah menimbulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali, terutama dalam adat perkawinan di mana perempuan (predana) dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki (purusa), sehingga Perempuan Hindu di Bali sering dikatakan sebagai “Pewaris tanpa warisan”. Hal ini tentunya sangat terkait dengan pemberlakuan adat istiadat yang mengatur kehidupan Masyarakat Bali yang masih belum mencerminkan kesetaraan gender. 

Di mana Perempuan Bali jika sudah menikah dia sepenuhnya menjadi hak milik laki-laki yang menikahinya dan keluarga pihak laki-laki, tanpa adanya banyak perdebatan. Bahkan semasih kecil Perempuan Bali sudah dibentuk dan dipersiapkan untuk menjadi milik keluarga lain. 

Begitu juga dalam hal pembagian waris bagi si perempuan yang sudah menikah keluar dari keluarga, tentunya namanya pun dihapuskan dari calon penerima warisan di rumahnya sendiri. Dan dalam bayangan akan mendapatkan warisan dari pihak keluarga laki-laki sesuai hak yang dimiliki suaminya. Tapi dalam kenyataan warisan dari pihak laki-laki adalah sepenuhnya menjadi milik suami yang nantinya akan diwariskan kembali kepada anak laki-laki. 

Di samping itu Perempuan Bali beranggapan bahwa kerja/yadnya merupakan suatu kewajiban sebagaimana swadharma-nya sebagai seorang istri terhadap suami. Hal ini terlihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Diksa Widayani dan Sri Hartati dalam jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, tentang “Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis terhadap Penulis Perempuan Bali”. Dari hasil penelitian dinyatakan bahwa subjek tiga dari penelitian ini menyatakan bahwa Kaum Perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai suatu kewajiban.

Walaupun sebenarnya Perempuan Bali merasakan beban kerja akibat ketimpangan peran yang diterimanya. Persepsi dan pemahaman yang dimiliki oleh Perempuan Bali terhadap KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender) berbeda sesuai dengan adanya perbedaan pengalaman dan adanya penyesuaian diri dan dukungan sosial yang membentuk konsep diri individu. 

Perempuan Bali itu kesal, tetapi apa daya #NakMuleKeto Kone 


Yang mengesalkan bagi saya, kadang bikin nangis hanya dengan mendengarkan cerita teman baik saya sebenarnya bukan budaya Bali, tapi bagaimana konsep patriarki ini dilanggengkan dalam praktek kehidupan sosial masyarakat Bali.

Lelaki Bali punya hak-hak istimewa yang sulit untuk bisa disamaratakan dengan hak perempuan Bali. 

Seorang perempuan Bali yang menikah akan pindah ke rumah suaminya. Ketika ini terjadi, dalam mayoritas masyarakat Bali perempuan ini dianggap kehilangan hak waris di rumahnya. Sementara di rumah baru, rumah sang suami, perempuan yang sama yang kini menjadi menantu juga tak punya hak waris.

Perempuan Bali setelah menikah sebagian besar akan tinggal dengan Mertua, karena anak laki-laki diwajibkan untuk mengambil alih kewajiban orang tua sebelumnya entah itu komunitas lingkungan (Banjar) dan juga mengajak orang tua dalam satu atap. 



Permasalahan ini kemudian ditambah dengan persekongkolan para perempuan yang mengambil andil dalam melanggengkan budaya patriarki ini. Saya sering menemukan perempuan Bali yang mendiskreditkan perempuan lain. Seorang nenek bisa mendiskreditkan anak dan cucunya dengan berdalih pada tradisi masa lalu. Seorang mertua juga melakukan hal yang sama pada menantunya, ipar kepada ipar, saudara perempuan yang lebih tua kepada adiknya, dan seterusnya. Begitu terus, seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Tak jarang ini menjadi salah satu penyebab perceraian. 

Perempuan “Mesin” Pencetak Anak Laki-Laki 


Setelah menikah kemudian memiliki bayi, maka pertanyaan yang akan muncul dari orang-orang, termasuk nenek, ibu, bibi, kakak perempuan, dan seterusnya, adalah : anaknya perempuan atau lelaki? 

Bila anaknya laki-laki, yang keluar pasti ucapan syukur, atau pujian betapa beruntungnya keluarga itu punya keturunan lelaki, betapa bahagianya mereka mendengar kabar itu, dan seterusnya. 

Sementara bila lahir bayi perempuan? 

Kebanyakan yang keluar adalah "Yah... anaknya perempuan ya? Nggak apa-apa, nanti bisa bikin lagi biar dapet anak cowok" Yang kemudian diikuti dengan segudang tips dan trik bagaimana menghasilkan anak lelaki. Melahirkan seorang anak lelaki adalah berkah, tapi entah kenapa ketika melahirkan anak perempuan, berkah ini lebih terdengar seperti kesialan yang perlu didukung dengan pemberian motivasi dan kata-kata penyemangat, bukannya ucapan selamat. 

Dan itu keluar dari mulut perempuan-perempuan Bali juga, yang seharusnya merasakan apa yang perempuan lain rasakan. Ini yang dialami salah satu teman baik saya yang ditekan oleh pihak keluarga bagaimana caranya supaya melahirkan anak laki-laki, memangnya semua ini hanya andil dari kaum perempuan semata? 

Perempuan yang menikah, punya anak tetapi tidak melahirkan anak lelaki maka dia juga dituding tidak sempurna. Perempuan akan mendapat tekanan, tidak hanya dari pihak keluarga tetapi juga lingkungannya. Padahal, peran keduanya baik suami maupun istri sama-sama andil dalam jenis kelamin anak yang dilahirkan. Rahim dijadikan mesin pencetak bayi laki-laki. 

Namun jika gagal, maka nanti si anak akan mendapat tekanan mencari sentana atau yang lebih parah adalah keluarga membujuk anak laki-lakinya untuk menikah lagi (dimadu) atau bahkan diceraikan. Justru, jika dilihat peran perempuan Bali sangatlah besar dalam menjalankan Adat-Istiadat Bali dari mulai tingkat keluarga kecil sampai pada banyak upacara diluar lingkup keluarga (Banjar/Pura) tetapi tetap tuntutan untuk menjadi perempuan sempurna (menghasilkan uang, menjalankan Yadnya, memiliki keturunan laki-laki, mengurus rumah-suami-mertua-anak, ayo apalagi ini nulis aja nahan nafas). 

Bahkan sampai sekarang saya masih mendengar adanya pandangan bahwa perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi karena ujung-ujungnya akan menikah dan ikut dengan suami. Bagaimana tidak berat, ditambah kehadiran mertua yang menjadi beban. 



Mertua, mengapa kau begitu kejam? 


Beberapa waktu lalu, saya sempat menjadi tempat pengaduan teman yang dikucilkan oleh mertua hanya karena memilih menghadiri rapat ditempat kerja dibandingkan menghadiri upacara, padahal upacara tersebut tetap jalan dengan tanpa kehadirannya dan bisa digantikan oleh sang mertua, jika beliau pengertian dan bisa berbagi peran maka perdebatan semacam ini tentu hanya menghabiskan energi saja. 

Kasus lain, teman saya bahkan tidak berani menggambil nasi untuk makan siang karena mertua yang selalu melihat kesalahan-kesalahan menantu, dibilang malas, kerjaan makan-tidur-makan-tidur kemudian dibanding-bandingkan dengan menantu para tetangga. Percayalah para ibu mertua, dibanding-bandingkan itu sungguh amat sekali sangat menyakitkan. Padahal sejak menikah dia mengorbankan pekerjaannya untuk keluarga suami serta mengurus anak. 

Satu lagi, saya melihat berita yang banyak dibagikan di sosial media mertua dengan tidak berperikemenantuan melarang menantunya untuk pulang kerumah orang tuanya (ini banyak sekali terjadi) kemudian dalam keadaan sakit parah, padahal keluarga ini dikaruniai keturunan bayi laki-laki. Pihak keluarga perempuan tidak diberikan kabar sama sekali sampai pada akhirnya meninggal dunia dalam keadaan kurus kering pucat tak terurus. Bagaimana dengan suaminya? Iyaaa hanya diam saja… 

Bisa dibayangkan bagaimana perasan ibu dari perempuan ini? Dipastikan hancur lebur berantakan/// 

Mungkin kalian pasti menilai bahwa perempuan-perempuan ini “bodoh” atau semacamnya tetapi percayalah tidak semua perempuan memiliki power untuk terlepas dari penderitaannya sendiri. Termasuk dari tekanan pihak keluarga laki-laki. 

Dear para mertua/calon mertua… 


Sungguh, coba bayangkan jika anak perempuan kalian diperlakukan seperti itu dirumah suaminya. Anak perempuan yang kalian asuh dengan penuh kasih sayang diperlakukan seperti budak/pembantu? Padahal menaruh harap suami akan mennggantikan peran ayah untuk membimbing anaknya, Rasanya Sakit? Pasti! 

Jadi begini… 

Apakah dengan kita kemudian pindah kerumah suami yang sangat dicintai, meninggalkan rumah dan pura kita setelah menikah, bahkan meninggalkan karir yang dikejar mati-matian masih menjadi kekhawatiran mertua bahwasanya menantu akan merebut anak laki-laki kalian? 

Percayalah semua menantu sangat sayang dengan mertuanya seperti ibunya sendiri mengingat suami yang begitu dia cintai lahir dari rahimmu. Pasti menantu akan sangat menghormati dan memohon bimbingan untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk cucu-cucumu. Apalagi bayi yang lahir dari rahim seorang menantu adalah laki-laki atau perempuan merupakan darah daging anak laki-laki kalian. 

Mari kita renungkan bersama. 



Ini berbanding terbalik dengan bagaimana kesan “orang jawa” yang tidak baik yang sering didengungkan. Teman baik saya (perempuan) memutuskan untuk menikah muda (kuliah pun belum tuntas), dari awal sampai sekarang cara mertuanya memperlakukan teman saya ini adalah seperti anaknya sendiri bahkan kasih sayangnya terlihat lebih daripada anak kandungnya sendiri. Sungguh adem rasanya ketika berkunjung dan menginap dirumahnya. Sang ibu mertua pun membagi peran dalam mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah sampai pada mengajarkan menantunya menjadi istri & ibu yang baik kelak. Seharusnya kita tidak menutup-nutupi bahwa ini patut untuk dicontoh. 


Memang saya sangat menyadari ini tidak berlaku pada semua, tetapi mari kita jujur pada hati yang paling dalam bahwa ini yang sedang kita hadapi, Bukan? 

Kekerasan pada Perempuan…. 


Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini ditengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakan hak perempuan. Dampak dari praktik ini menimbulkan berbagai masalah sosial di masyarakat seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, meningkatnya angka pernikahan dini dan stigma mengenai perceraian. Dampak dari budaya patriarki di Indonesia masuk dalam system blame approach, yaitu permasalahan yang diakibatkan oleh sistem yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapan. 

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dan Pengadilan Agama Denpasar, rata-rata terdapat dua perceraian dalam sehari di Denpasar dalam tiga tahun terakhir hingga 2017. Kepala Bidang Pencatatan Sipil Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Provinsi Bali, Ketut Rai Sukerta mengatakan bahwa angka perceraian di Provinsi Bali terus meningkat dan yang paling banyak mengajukan gugatan cerai adalah istri. Banyak faktor memang, tak dapat dipungkiri faktor KDRT dan Mertua menjadi yang paling banyak digaungkan di media sosial. 




Berbagai kasus kekerasan yang menjadikan perempuan sebagai korbannya terjadi akibat dari ajegnya budaya patriarki yang masih melekat sebagai pola pikir di masyarakat. Kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh suami tetapi juga para mertua. Budaya patriarki memberikan pengaruh bahwa laki-laki itu lebih kuat dan berkuasa dibandingkan perempuan. 

Hal ini menimbulkan paradigma bahwa dalam rumah tangga istri memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan atau keinginan dan memiliki kecenderungan untuk menuruti semua keinginan suami mereka, sekalipun itu tidak baik. Kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan menciptakan sebuah konstruksi sosial bahwa pihak perempuan adalah pihak yang lemah. 

Kalau dipikir perempuan terkesan “bodoh” tetapi dari hasil ngobrol santai saya dengan teman sungguh sulit, tidak ada power sama sekali bahkan untuk membela diri disaat para suami berpihak kepada ibunya kemudian sanak keluarga lain kerap menyalahkan si perempuan. Jalan satu-satunya adalah “cerai” tetapi kehadiran anak membuat sebagian besar istri tetap bertahan walaupun batin sudah sangat tersiksa. Disinilah peran para suami untuk deep talk dengan istri karena terkadang mereka menutup-nutupi agar "terlihat baik-baik saja".  

Kalau tidak hamil, tidak jadi menikah 


Fenomena “Sing Beling Sing Nganten” atau “Tidak Hamil-Tidak Menikah”, jika melihat konsep gender maka akan sangat merugikan pihak perempuan. Ini tentu saja merugikan kita, lahh kalau tidak hamil bagaimana? Ditinggal begitu saja?. Pasti setelah ada anak, hubungan hanya menjadi sebuah formalitas, bertahan karena adanya anak tetapi sudah tidak ada cinta. Ini kerap kali dikeluhkan oleh teman-teman sebaya saya yang sudah berkeluarga. 

Jadi sebagai sesama perempuan, saya ingin mengingatkan bahwa laki-laki itu bukan “dia” saja, terdapat 133,1 juta jiwa kaum laki-laki di Indonesia (BPS, 2018). Seberapapun cintanya kalian dengan laki-laki ini, ingat perasaan deg-degan itu tidak abadi, jika memang laki-laki tersebut mencintai kita dengan tulus (bukan karena nafsu belaka) maka dia tidak akan menjadikan kita bahan percobaan-gagal-kemudian ditinggal. 

Laki-laki yang benar-benar tulus, dia akan menjaga perempuannya. Pintar-pintar jaga diri, dirayu memang kadang bikin melayang ke langit ke tujuh, cuma kalau sudah sampai sana, terus jatuh, dijamin pasti sakit! 

Tidak hanya menanggung malu diri-sendiri tetapi juga keluarga besar, mari saling menjaga. 

Padahal, seksualitas merupakan bentuk kerinduan untuk menyatu. Karena itu seks merupakan alat untuk menjadi Siwa Sakti (I Gede Suwantana, 2018). Dalam Candogya Upanishad juga dikatakan bahwa perempuan ibarat api persembahan, sehingga dari persembahan melahirkan sesuatu yang dalam hal ini adalah keturunan. Dimana dalam Agama Hindu berhubungan seksual itu sangat suci mengingat akan melahirkan keturunan baru sehingga apakah kita akan menanggalkannya? 



Budaya patriarki akan terus ada selama masyarakat, dalam hal ini KITA, ikut terus mengkonstruksi dan melanggengkan budaya itu sendiri. Sudah saatnya perempuan-perempuan Bali masa kini menyadari hak dan kewajibannya, memahami apa itu kesetaraan gender dan tentu saja ikut memperjuangkannya.

Bukan masalah meninggalkan nilai tradisi budaya. Jangan lupa bahwa budaya adalah hasil konstruksi manusia, yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan kemampuan penalaran manusia. 

Budaya bukanlah sebuah nilai pasti yang tidak bisa kita ubah untuk menjadi yang lebih baik. Mau sampai kapan melanggengkan sebuah sistem yang mendiskreditkan perempuan? Sementara kita sendiri menyadari betapa sulitnya menjadi perempuan dalam sistem seperti ini. 

Apakah kita rela mewariskannya pada anak cucu kita kelak?



Saya percaya bahwasanya perempuan Bali bangga menjadi orang Bali, tidak hanya keindahan alam mulai dari Gunung sampai pada Lautan, orang-orang yang ramah, serta kekayaan budaya dan adat-istiadatnya. 

Tetapi, 

Apakah kami tetiba kehilangan “Balinese” ketika menikah dengan bukan orang bali?

Apakah kita sudah bisa membedakan mana Agama dan mana Adat-Istiadat di Bali? 

Apakah jika perempuan Bali memilih untuk menikah dengan orang jawa tidak bisa tetap ikut dalam kegiatan Adat-Istiadat Bali yang sejatinya tidak berhubungan dengan agama? 

Apakah kita pernah bertanya kenapa harus begini, kenapa harus begitu disamping “hanya” dijawab dengan “Nak Mule Keto”? 

Teman saya yang baik hatinya… 


Semoga tulisan ini menjadi pengingat dan refleksi kita semua… 

Betapa… 


Menjadi Perempuan Bali itu, Berat. 

Akankah kita melanggengkannya kepada anak-cucu kita nanti? 




-----------------------
Beberapa sumber referensi:

1. Anonim. “Kesetaraan Gender”. https://www.kamusbesar.com/kesetaraan-gender.
2. Erdianto, Kristian. “Kaum Perempuan Diantara Budaya Patriarki dan Diskriminasi Regulasi”https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.regulas
3. Oreo. “Convention Watch”. 2007.http://www.democraticconventionwatch.com/diary/date/2007/01/
4. Pudja, Gede. 1977. “Manawa Dharma Sastra”. Jakarta: Dep. Agama R.I.
5. Ni Nyoman Rahmawati.”Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu)”. 2015
6. Irma Sakina, Ade dan Hassanah Siti A, Dessy. “Meyoroti Budaya Patriarki di Indonesia”. http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66158/potongan/S2-2013-306599-chapter1.pdf. Vol.7.
7. Foto-foto diambil dari pinterest.com dan google.com.












You Might Also Like

0 komentar

Paling Banyak Dibaca

Subscribe