Perempuan Bali zaman dulu (google.com) |
"Aku, kamu dari Bali bukan? apasih arti namamu? itu kasta ya Ku?”
“Ku, katanya kalau orang Bali itu gak boleh nikah beda kasta ya?”
“Ku, kok di Bali banyak upacaranya sih”
“Aku, berarti kamu derajatnya paling rendah di Bali ya..”
“Ku….
Pertanyaan-pertanyaan seperti kutipan di atas tidak asing lagi bagi beberapa Perempuan Bali yang lahir ditengah sistem kekeluargaan Patrilineal dan Sistem Kasta, Warna, dan Wangsa didalamnya.
Bali adalah salah satu daerah yang saat ini telah berkembang menjadi daerah majemuk, tetapi sampai saat ini umat Hindu di Bali masih mengalami polemik mengenai ketidaksetaraan status sosial. Hal ini dikarenakan oleh Sistem Kasta/ Catur Warna yang membagi tingkat seseorang berdasarkan kelahiran dan status keluarga. Masyarakat Sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya harus menggunakan Sor Singgih Basa (Bahasa Halus), untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
Masyarakat Hindu di Bali sebenarnya telah terjadi kesalah pahaman kasta dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan sejak zaman pemerintahan Majapahit. Dalam agama Hindu tidak dikenal dengan istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam Kitab Suci Veda adalah Warna yang jika mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Dan yang berkembang sekarang dimasyarakat Bali terutama dilingkungan Aku adalah ketika kasta diperkenalkan dengan nama Catur Warna yaitu Brahmana, Kesatrya, Wesya, dan Sudra. Gelar-gelar inilah yang diwariskan secara turun-menurun. Karena Aku lahir dikeluarga Sudra maka Aku bergelar Sudra.
Jikalau dilihat dari beberapa ajaran seperti Bhagawata Purana menyebutkan didalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuscaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya. Dari perbuatan dan sifat-sifat seperti tentang menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, dan tulus hati, teguh iman kepada Tuhan, jujur adalah gambaran seorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyur, suka memberi pengampunan perlindungan maka mereka itulah yang disebut Kesatrya dan seterusnya. Ditambah lagi Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Sudra lalu lahir anak Sudra juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu. Dan salah satu sumber dalam Wiracarita Mahabrata menyebutkan sifat Brahmana jika dimiliki oleh anak yang dilahirkan dari Sudra maka mereka bukanlah Sudra tetapi Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat-sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra dan seterusnya.
Menurut Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta, dimana Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal dengan adanya empat Warna/Catur Warna yaitu sebagai berikut;
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi pada kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan untuk kesempurnaan hidup. Sedangkan kasta merupakan golongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep Catur Warna yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya terdahulu. Sangat tidak masuk akal memang bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki sifat Brahmana digolongkan sebagai Brahmana. Terlebih lagi, nama dan gelar yang diwariskan ini memiliki posisi tersendiri di masyarakat Bali yang diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan digolongan kasta yang ada. Padahal sesungguhnya Warna tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya.
Hal ini akan sangat membingungkan untuk orang awam, termasuk masyarakat Bali karena dari zaman penjajahan terdapat keyakinan bahwa Kasta/ Catur Warna tersebut adalah penggolongan penentu kedudukan seseorang yang didapat keluarga secara turun-menurun. Dan itu berlaku sampai sekarang…
“Ku, katanya kalau orang Bali itu gak boleh nikah beda kasta ya?”
“Ku, kok di Bali banyak upacaranya sih”
“Aku, berarti kamu derajatnya paling rendah di Bali ya..”
“Ku….
Pertanyaan-pertanyaan seperti kutipan di atas tidak asing lagi bagi beberapa Perempuan Bali yang lahir ditengah sistem kekeluargaan Patrilineal dan Sistem Kasta, Warna, dan Wangsa didalamnya.
Bali adalah salah satu daerah yang saat ini telah berkembang menjadi daerah majemuk, tetapi sampai saat ini umat Hindu di Bali masih mengalami polemik mengenai ketidaksetaraan status sosial. Hal ini dikarenakan oleh Sistem Kasta/ Catur Warna yang membagi tingkat seseorang berdasarkan kelahiran dan status keluarga. Masyarakat Sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya harus menggunakan Sor Singgih Basa (Bahasa Halus), untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
Masyarakat Hindu di Bali sebenarnya telah terjadi kesalah pahaman kasta dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan sejak zaman pemerintahan Majapahit. Dalam agama Hindu tidak dikenal dengan istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam Kitab Suci Veda adalah Warna yang jika mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Dan yang berkembang sekarang dimasyarakat Bali terutama dilingkungan Aku adalah ketika kasta diperkenalkan dengan nama Catur Warna yaitu Brahmana, Kesatrya, Wesya, dan Sudra. Gelar-gelar inilah yang diwariskan secara turun-menurun. Karena Aku lahir dikeluarga Sudra maka Aku bergelar Sudra.
Jikalau dilihat dari beberapa ajaran seperti Bhagawata Purana menyebutkan didalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuscaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya. Dari perbuatan dan sifat-sifat seperti tentang menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, dan tulus hati, teguh iman kepada Tuhan, jujur adalah gambaran seorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyur, suka memberi pengampunan perlindungan maka mereka itulah yang disebut Kesatrya dan seterusnya. Ditambah lagi Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Sudra lalu lahir anak Sudra juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu. Dan salah satu sumber dalam Wiracarita Mahabrata menyebutkan sifat Brahmana jika dimiliki oleh anak yang dilahirkan dari Sudra maka mereka bukanlah Sudra tetapi Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat-sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra dan seterusnya.
Menurut Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta, dimana Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal dengan adanya empat Warna/Catur Warna yaitu sebagai berikut;
- Brahmana yaitu orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
- Kesatrya yaitu orang –orang yang bekerja/ bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/ pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, dan sebagainya.
- Wesya yaitu orang-orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor, dan usahawan (profesionalis) yang dimiliki bisnis/usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya mengembangkan usaha/bisnisnya.
- Sudra yaitu orang-oarang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. Seperti karyawan, pegawai swasta, dan semua orang yang bekerja kepada Wesya untuk menyambung hidupnya termasuk yang belum masuk dalam Tri Warna tersebut.
Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi pada kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan untuk kesempurnaan hidup. Sedangkan kasta merupakan golongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep Catur Warna yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya terdahulu. Sangat tidak masuk akal memang bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki sifat Brahmana digolongkan sebagai Brahmana. Terlebih lagi, nama dan gelar yang diwariskan ini memiliki posisi tersendiri di masyarakat Bali yang diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan digolongan kasta yang ada. Padahal sesungguhnya Warna tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya.
Hal ini akan sangat membingungkan untuk orang awam, termasuk masyarakat Bali karena dari zaman penjajahan terdapat keyakinan bahwa Kasta/ Catur Warna tersebut adalah penggolongan penentu kedudukan seseorang yang didapat keluarga secara turun-menurun. Dan itu berlaku sampai sekarang…
Perempuan Bali zaman dulu (google.com) |
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra…
Seperti halnya orang Bali, Aku juga memiliki nama yang membuat dia mudah untuk dikenali sebagai seorang Perempuan Bali. Nama orang Bali pada umunya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Menurut Prof. Dr. I Wayan Jendra, seorang pakar linguistik dari Fakultas Sastra Universitas Udayana menyebutkan nama depan ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh Raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.
Menurut Sastra Kanda Pat Sari, anak pertama diberi nama “Wayan”, “Putu”, “Luh”, “Gede” yang disesuaikan kembali oleh masing-masing keluarga.
Anak kedua diberi nama “Made”, “Kadek”, atau “Nengah”. Anak ketiga diberi nama “Nyoman” atau “Komang”. Anak keempat diberi nama “Ketut”. Selanjutnya jikalau memiliki anak/saudara kelima akan kembali kepada sistem pemberian nama mulai dari anak pertama dan seterusnya didalam kasta Sudra.
Nama seperti “Ida Bagus” untuk laki-laki dan “Ida Ayu” untuk perempuan menunjukkan dia berasal dari keturunan kasta Brahmana. Nama seperti “Anak Agung”, “Cokorda”, “Dewa”, “Desak”, “Dewa Ayu” berasal dari kasta Kesatrya dan “Gusti Ayu”, “Gusti Ngurah”, ini berasal dari kasta Wesya.
Untuk membedakan jenis kelamin, orang Bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata yaitu “I” untuk laki-laki dan “Ni” untuk perempuan.
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra, Bagaimana Jika Aku Menikah Dengan Seorang Laki-laki yang Berbeda Kasta?
Perempuan Bali zaman dulu (google.com) |
Pernikahan berbeda kasta inilah yang sudah mulai banyak terjadi di Bali. Jika dahulu pernikahan seperti ini tidak dapat dilakukan tetapi sekarang mulai banyak ditemui pernikahan dengan kasta yang berbeda. Beberapa keluarga biasanya memberikan kebanggaan tersendiri bagi keluarga perempuan jika berhasil mendapatkan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi. Secara otomatis kasta Aku juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi Aku harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya banten untuk mempelai wanita diletakkan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah yang masih sangat kental budayanya, istri harus rela melayani/ mengabdikan diri untuk para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun sekarang hal tersebut telah jarang ditemukan, namun masih ada beberapa orang yang menegakkan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kastanya.
Lain halnya jika Aku menikah dengan kasta yang lebih rendah dari suaminya, maka akan ada pernikahan secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai “ngemaling” atau kawin lari. Kemudian Aku akan turun kasta mengikuti kasta suami dan orang-orang akan berbicara dengan Bahasa yang berbeda tingkat kehalusannya kepada Aku, yang disebut dengan istilah “nyerod”.
Tetapi ini tidak akan pernah terjadi karena Aku berasal dari keluarga dengan kasta yang paling rendah. Hal ini menyebabkan kedua orang tuanya sangat menaruh perhatian kepada calon suami Aku, karena lebih baik dia menikah dengan laki-laki yang bukan orang Bali daripada memiliki seorang menantu seorang Brahmana dan mengalami peningkatan kasta paling tinggi. Hal ini akan sangat tergantung dari seberapa kental tradisi ini diterapkan dimasing-masing daerah di Bali. Tetapi di desa tempat tinggal Aku ruang gerak bagi seorang yang menyandang gelar kasta paling tinggi akan sangat terbatas dan menjalani kehidupan mengabdi untuk keluarga dan budaya serta agama karena akan menjadi bagian dari keluarga yang sangat dipandang dan dihormati oleh masyarakat (menjadi role model masyarakat).
Lain halnya jika Aku menikah dengan kasta yang lebih rendah dari suaminya, maka akan ada pernikahan secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai “ngemaling” atau kawin lari. Kemudian Aku akan turun kasta mengikuti kasta suami dan orang-orang akan berbicara dengan Bahasa yang berbeda tingkat kehalusannya kepada Aku, yang disebut dengan istilah “nyerod”.
Tetapi ini tidak akan pernah terjadi karena Aku berasal dari keluarga dengan kasta yang paling rendah. Hal ini menyebabkan kedua orang tuanya sangat menaruh perhatian kepada calon suami Aku, karena lebih baik dia menikah dengan laki-laki yang bukan orang Bali daripada memiliki seorang menantu seorang Brahmana dan mengalami peningkatan kasta paling tinggi. Hal ini akan sangat tergantung dari seberapa kental tradisi ini diterapkan dimasing-masing daerah di Bali. Tetapi di desa tempat tinggal Aku ruang gerak bagi seorang yang menyandang gelar kasta paling tinggi akan sangat terbatas dan menjalani kehidupan mengabdi untuk keluarga dan budaya serta agama karena akan menjadi bagian dari keluarga yang sangat dipandang dan dihormati oleh masyarakat (menjadi role model masyarakat).
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra…
Jika dikaitkan dengan akses pendidikan formal, ada dua nilai gender yang menonjol yang masih berlaku di masyarakat Bali, terutama di masyarakat pedesaan. “Untuk apa anak perempuan disekolahkan tinggi-tinggi, nanti dia ke dapur juga”. “Untuk apa perempuan disekolahkan tinggi-tinggi, nanti dia akan menjadi milik orang lain juga”. “Untuk apa perempuan disekolahkan tinggi-tinggi, toh kekayaan dia nanti milik keluarga suaminya”. Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal seperti di Bali, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol. Pada masyarakat yang berpegang pada sistem kekerabatan itu, lebih mengutamakan hubungan keluarga dengan garis laki-laki (ayah) daripada hubungan keluarga dengan garis perempuan (ibu). Dengan demikian, cenderung lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan di dalam memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Namun jika dibandingkan dengan anak perempuan lain disekitar rumahnya, Aku termasuk perempuan yang beruntung karena kedua orang tuanya sangat mendukung untuk meraih pendidikan lebih tinggi daripada mereka. Jika dibandingkan dengan kedua orang tuanya, Aku jauh lebih beruntung hidup di tengah-tengah keluarga yang memiliki pemikiran yang terbuka. Bagaimana dengan teman-teman perempuan Aku lainnya, bagaimana dengan desa yang terpencil di Bali?
Banyak yang menikah muda dan mempunyai anak diusia dini, banyak yang tidak bisa membaca dan menulis karena tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini kerap terjadi karena sebagian besar dari keluarga mereka berpandangan bahwa “perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, toh akan jadi pelayan keluarga suami dan mengurus anak”.
Dan sampai tulisan ini diselesaikan masih banyak tetangga yang membicarakan tentang Aku, seorang perempuan Bali yang disekolahkan tinggi-tinggi bahkan karena terlalu sibuk dengan dunia pendidikan, ada yang berkata kepadanya bahwa nanti jika dia menikah, tidak akan ada orang yang membatu proses Upacara pernikahannya yang penuh dengan budaya dan tradisi yang kental, tidak akan ada orang yang membantu orang tuanya jika memiliki Upacara Keagamaan, dan bahkan sampai ada yang berkata tidak akan ada yang sanggup menikahinya. Yaa begitulah lingkungan Aku… Penuh dengan sindiran dari para tetangga yang mungkin memberikan perhatian yang sedikit berlebihan terhadap masa depannya sebagai seorang Perempuan Bali yang seharusnya dipersiapkan oleh kedua orang tua sebagai calon istri yang menjalankan kewajiban sebagai seorang calon istri yang ahli dalam memasak di dapur, menyama braya (bermasyarakat), membuat banten/sesaji, melaksanakan semua upacara yang ada di Bali, dan banyak lagi untuk tetap menjalin kekerabatan di lingkungan banjar maupun desa. Banjar merupakan organisasi yang bertanggung jawab membuat peraturan lokal yang memuat aturan moral dan kesejahteraan masyarakat umum yang mewajibkan setiap Perempuan Bali membuat persembahan, menjalankan ritual keagamaan, yang dikenal dengan istilah Ngayah (Kurniawati, 2009). Tetapi orang tuanya sepakat untuk menempatkan pendidikan dan berkarir adalah yang utama karena sungguh akan sangat sulit sekali untuk menyeimbangkan semua itu walaupun bisa saja diupayakan untuk terealisasi dengan kemampuan Aku yang multitasking, tapi apa iya semua Perempuan Bali sanggup?. Hal ini mengindikasikan harus memilih salah satu dan menetapkan prioritas. Bagaimana dengan daerah lain di Bali yang masih sangat kental menerapkan keyakinan seperti diatas?
Bahkan jika sejak kecil Perempuan Bali sudah dibentuk dan dipersiapkan untuk menjadi milik keluarga lain. Begitu juga dalam hal pembagian hak waris bagi si perempuan yang sudah menikah keluar, tentunya namanya dihapuskan dari calon penerima warisan di rumahnya sendiri. Dan warisan dari pihak laki-laki sepenuhnya menjadi milik suami yang nantinya akan diwariskan kembali kepada anak laki-laki dalam keluarga itu. Yaa Perempuan Bali sangat diharapkan oleh keluarga suami untuk memberikan keturunan seorang anak laki-laki untuk meneruskan keturunan. Jika tidak, maka hemm...
Perempuan Bali zaman dulu (google.com) |
Bagaimana Konsep Kesetaraan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali?
Merujuk pada Studi Kultural dari Gumelar dkk (2016) menyebutkan kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional serta mendapatkan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga merupakan suatu penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra…
Yang memandang budaya partiarkhi sebagai sesuatu yang sudah biasa, bahkan sudah seperti itu adanya jauh sebelum Aku dilahirkan. Begitu juga dengan perempuan-perempuan Bali lainnya dari kasta yang juga berbeda. Perempuan Bali memandang kerja sebagai persembahan (Yadnya) sehingga harus dilakukan secara tulus ikhlas tanpa memandang adanya ketidak seimbangan antara laki-laki dan perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Diksa Widayani dan Sri Hartati (2014) menyebutkan bahwa Kaum Perempuan Bali tidak merasa mengalami ketidakadilan gender karena memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban.
Walaupun sebenarnya Perempuan Bali merasakan beban kerja tinggi akibat ketimpangan peran yang diterima. Persepsi dan pemahaman yang dimiliki oleh Perempuan Bali terhadap Kesetaraan dan Keadilan Gender berbeda sesuai dengan adanya perbedaan pengalaman dan adanya penyesuaian diri dan dukungan sosial yang membentuk konsep diri individu.
Pada dasarnya persepsi terhadap kesetaraan dan keadilan gender dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang merupakan faktor personal seperti persepsi, sikap, penilaian, kebutuhan, resistensi, penyesuaian diri. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor situasional meliputi Kebudayaan Bali, pendidikan, dan pola asuh. Jika dibandingkan menurut Ajaran Hindu, gender bukan merupakan perbedaan perlakukan sosial antara laki-laki dengan perempuan, tetapi mempertimbangkan pada hal-hal mana yang pantas dilakukan oleh laki-laki dan mana yang pantas dilakukan oleh perempuan (Rahmawati, 2015).
Dalam hal ini Hindu telah lebih memandang gender dari kewajiban yang mesti dilakukan oleh masing-masing individu sebagaimana dikodratkan oleh Tuhan (Brahman). Sebagaimana yang termuat dalam kitab Manawa Dharmawangsa [6] bab IX seloka 96 menyatakan bahwa:
“Prajanartha striyah srstah, Samtnartham ca manawah, Tasmat sadharannu dharmah, Crutau patnya sahadita”
Artinya:
“Untuk menjadi ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki diciptakan upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami bersama istrinya”
Dalam seloka ini dijelaskan sedemikian rupa bahwa setiap laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban/peran masing-masing. Namun diharapkan dalam menjalin perannya laki-laki dan perempuan saling menjalin kerja sama yang seimbang dan harmonis.
Perempuan Bali zaman dulu (google.com) |
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra…
Yang memiliki pandangan hidup yang sangat dipengaruhi dan dijiwai oleh Kebudayaan Bali dan Agama Hindu. Kepercayaan yang dia yakini mengandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan dan pikiran-pikiran mendalam mengenai wujud kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat.
Namun tidak dapat dipungkiri Budaya Patriarki masih sangat kental terutama dalam hal perkawinan. Bali yang masih belum mencerminkan kesetaraan gender menempatkan Perempuan Bali, jika sudah menikah sepenuhnya menjadi hak milik laki-laki yang menikahinya dan keluarga pihak laki-laki tanpa ada banyak perdebatan.
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra…
Tidak ada masalah bagi keluarganya untuk memiliki bekal kemandirian secara finansial kedepannya tetapi jika tidak memilki skill sebagai Perempuan Bali calon istri dari Laki-laki Bali kemungkinan akan terjadinya marjinalisasi.
Dalam perkembangan zaman yang semakin modern ternyata belum mampu mengubah paradigma berpikir Masyarakat Bali secara signifikan, sehingga teman-teman yang menyandang status sebagai anak tunggal Perempuan Bali tidak memiliki kebebasan karena dibebani dengan mencari “Sentane”. Hal ini karena sulitnya bagi laki-laki baik dari dirinya maupun keluarga yang mau Nyentane/ Nyeburin (laki-laki setelah menikah menjadi milik keluarga perempuan).
Karena dalam pandangan Masyarakat Bali yang merupakan bagian dari budaya partiharki dengan menikah Nyeburin laki-laki akan kehilangan haknya menjadi kepala keluarga.
Aku Perempuan Bali Berkasta Sudra…
Dengan keadaan sangat kontradiktif dengan semangat kesetaraan gender yang menginginkan kebersamaan dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Ketika teman-teman Aku sibuk menyusun rencana melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, ingin berkarir, dan ditata dengan apik sedemikian rupa...
Disini Aku berpikir jikalau dia melanjutkan pendidikan lagi, apa yang akan mereka katakan terhadap pola asuh kedua orang tuanya kepada anak perempuan satu-satunya ini?
Bagaimana dia akan dipandang oleh lingkungannya?
Apakah pendidikan yang menjadi tolok ukur kualitas seseorang menurut Aku?
Walaupun beberapa ahli menyebutkan karakter dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang lebih berpengaruh dan menjadi indikator seseorang mencapai kesuksesan, tetapi pendidikan adalah salah satu jalan bagi Aku untuk meraih status kehidupan yang lebih baik. Untuk membangun generasi dengan karakter dan nilai-nilai tersebut yang didapatkan dengan menempuh pendidikan yang lebih baik.
Namun, jika ingin penuhi ambisi, mungkin Aku akan tereliminasi…