Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak disebabkan oleh virus Japanese Encefalitis termasuk Family Flavivirus dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Asia termasuk di Indonesia. Jumlah kasus JE di Indonesia Tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 326 kasus. Kasus terbanyak dilaporkan terdapat di Provinsi Bali dengan jumlah kasus 226 (69,3%) (Depkes RI, 2016).
Penularan virus tersebut sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk, babi, dan atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi. Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim hujan.
Di Bali, tingginya kejadian Japanese Encephalitis dikaitkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi (dr. Elizabeth Jane Soepardi).
Sebagian besar penderita JE hanya menunjukkan gejala yang ringan atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Gejala dapat muncul 5-15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi virus berupa demam, menggigil, sakit kepala, lemah, mual, dan muntah. Kurang lebih 1 dari 200 penderita infeksi JE menunjukkan gejala yang berat yang berkaitan dengan peradangan pada otak (encephalitis), berupa demam tinggi mendadak, sakit kepala, kaku pada tengkuk, disorientasi, koma (penurunan kesadaran), kejang, dan kelumpuhan. Gejala kejang sering terjadi terutama pada pasien anak-anak. Gejala sakit kepala dan kaku pada tengkuk terutama terjadi pada pasien dewasa. Keluhan-keluhan tersebut biasanya membaik setelah fase penyakit akut terlampaui, tetapi pada 20-30% pasien, gangguan saraf kognitif dan psikiatri dilaporkan menetap. Komplikasi terberat pada kasus Japanese Encephalitis adalah meninggal dunia (terjadi pada 20-30% kasus Encephalitis).
Namun untuk memastikan gejala yang dialami harus segera dibawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat untuk dilakukan pengecekan laboratorium.
Hingga saat ini, belum ada obat untuk mengatasi infeksi JE, pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE. Pengobatan yang diberikan adalah berdasarkan gejala yang diderita pasien (simtomatik), istirahat, pemenuhan kebutuhan cairan harian, pemberian obat pengurang demam, dan pemberian obat pengurang nyeri. Pasien perlu dirawat inap supaya dapat diobservasi dengan ketat, sehingga penanganan yang tepat bisa segera diberikan bila timbul gejala gangguan saraf atau komplikasi lainnya.
Sebanyak 85% kasus JE yang dilaporkan pada Tahun 2016 terjadi pada kelompok umur 15 tahun. Hal ini menyebabkan JE dianggap sebagai penyakit pada anak. Padahal, sebenarnya JE juga dapat berjangkit pada semua umur, terutama bila virus tersebut baru menginfeksi daerah baru di mana penduduknya tidak mempunyai riwayat kekebalan sebelumnya.
Intervensi yang paling utama dalam penanggulangan JE adalah pengendalian vektor, eliminasi populasi unggas, vaksinasi pada babi, eliminasi pemaparan manusia pada vektor, dan imunisasi JE pada manusia. Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah JE pada manusia.
Jadi mulai akhir tahun 2017 dilakukan kampaye imunisasi JE, maka langkah selanjutnya adalah introduksi imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin pada anak usia 9 bulan yang dilaksanakan bersamaan dengan imunisasi campak. Perluasan introduksi imunisasi JE akan dilaksanakan berdasarkan kajian endemisitas wilayah masing-masing.
Jadi, jangan takut dan mari pastikan anak anda mendapatkan kekebalan tubuh dengan imunisasi je. apalagi sudah ada di sekolah-sekolah. Imunisasi radang otak jepang atau japanese ecepalitis (JE) secara massal dilaksanakan dari bulan maret-april 2018 yang dibagi menjadi 2 Tahap Pelaksanaan yaitu Bulan Maret dilaksanakan di PAUD, TK, SD, SMP Se- Provinsi Bali sedangkan Bulan April di Posyandu, Pustu, Puskesmas, Rumah Sakit dan Pos Pelayanan Imunisasi JE. Sasaran dalam pemberian imunsasi ini adalah anak pada usia 9 Bulan s/d usia kurang dari 15 Tahun :)