Resistensi Antibiotika Semakin Menyeramkan!

Kamis, Maret 14, 2019



No action today, No cure tomorrow

Sejak tahun 2011, WHO mengkampanyekan tema “Antimicrobacterial Resistance and it’s Global Spread”, hingga saat ini terus digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional yang meliputi pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat. 

Obat-obatan seperti amoxicillin, cefradoxil, erythromicyn, dan tetrasiklin tentu sudah familiar di telinga masyarakat. Deret obat-obatan itu tak bisa disamakan dengan jenis obat lain, sebab mereka termasuk dalam golongan antibiotik yang bertugas untuk membasmi bakteri yang menyerang tubuh. Apa yang dikhawatirkan Fleming terjadi di zaman kiwari. Bakteri bukan sekadar mahkluk kecil yang mudah diatasi begitu saja. Semakin ke sini, bakteri kian kuat dan antibiotik yang masuk ke dalam tubuh pun tak mampu membasminya.

Penggunaan antibiotika secara masif pada manusia dan hewan yang tidak sesuai indikasi telah menjadi permasalahan karena memicu timbulnya bakteri MDR yang lebih dikenal dengan masalah Antimicrobial Resistance (AMR). Pemakaian antibiotika secara tidak bijak dan tidak rasional karena kurangnya pemahaman masyarakat maupun tenaga kesehatan, merupakan penyebab AMR. Selain itu, akses yang mudah untuk mendapatkan antibiotik di apotek tanpa resep dari dokter, toko atau warung tanpa adanya pengawasan yang ketat merupakan salah satu faktor penyebab dari penyalahgunaan antibiotika. Pemakaian antibiotika sebagai growth factor dibidang peternakan mendorong terjadinya resistensi antibiotika pada hewan. Kerugian bukan hanya pada bidang kesehatan tetapi juga berakibat pada bidang sosial dan ekonomi. Saat ini diperkirakan terdapat 700.000 kasus kematian karena terinfeksi AMR. Angka ini akan semakin meningkat hingga 50 juta kasus pada tahun 2050. 

Saat ini masalah AMR menjadi prioritas dalam bidang kesehatan secara global maupun nasional. Indonesia melalui program dari Komite Penanganan Resistensi Antibiotika (KPRA) telah memiliki program yang selaras dengan program dunia yaitu Global action plan on AMR. Terdapat empat program utama KPRA yaitu peningkatan kewaspadaan dan pengertian tentang masalah AMR, melakukan pengawasan berkelanjutan masalah AMR melalui pendekatan riset, menurunkan kasus insiden infeksi AMR melalui pencegahan infeksi dan pengawasan penggunaan antibiotika. Seluruh program ini diwajibkan untuk diterapkan oleh seluruh jajaran instansi terkait.



Kurangnya pemahaman tentang pemakaian antibiotik yang bijak tercermin dari hasil Survey Kesehatan masyarakat yang dilakukan pemerintah dan hasil riset dasar kemenkes 2013 menunjukkan sejumlah 103.860 atau 35,2 persen dari 294.959 rumah tangga (RT) di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi tertinggi RT di DKI Jakarta (56,4%) dan terendah di Nusa Tenggara Timur (17,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 35,2 persen RT yang menyimpan obat, proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,7 persen dan antibiotika 27,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 81,9 persen RT menyimpan obat keras dan 86,1 persen RT menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika sakit, dan ‘obat sisa’ maka 32,1 persen RT menyimpan obat yang sedang digunakan, 47,0 persen RT menyimpan obat sisa dan 42,2 persen RT yang menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalahgunakan atau rusak/kadaluarsa. 

Akses yang mudah untuk mendapatkan antibiotik di apotek, toko atau warung tanpa pengawasan yang ketat, kebiasaan menyimpan antibiotika di rumah bahkan menggunakannya tanpa resep dokter merupakan contoh nyata lemahnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam menggunakan antibiotika di dunia kesehatan. Permasalahan penyalahgunaan antibiotika ini menjadi bertambah kompleks dengan adanya miskonsepsi dan kekeliruan persepsi masyarakat dalam menggunakan antibiotik ini untuk meningkatkan nilai jual ternak. Pemakaian antibiotika sebagai growth factor dibidang peternakan juga bisa mendorong terjadinya resistensi antibiotika pada hewan. Pemakaian AB pada berbagai perusahaan peternakan dan pengusaha tambak udang, ikan, dan berbagai hasil laut dari proses budidaya sebagai terapi dan anti stress merupakan salah satu faktor penting peningkatan AMR pada hewan dan juga tanaman. Keadaan ini diperburuk dengan banyaknya poultry shop dan toko bahan dan obat hewan atau ternak yang sangat tidak terkendali yg tersebar di pelosok desa.



Penggunaan antibiotik sebagai pemacu tumbuh dan anti stres sampai saat ini masih banyak dilakukan oleh baik peternak intensif maupun peternak konvensional. Meskipun aturan yang berlaku bahwa antibiotika yang dipakai adalah jenis antibiotika yang tidak digunakan untuk tujuan terapi pada manusia, namun dengan pemakaian yang tidak sesuai dosis menyebabkan resistensi yang berdampak pada tidak efektifnya pemakaian sediaan yang dianjurkan,yang dimanifestasikan dengan masih terjadinya stress dan pertumbuhan yang tidak optimal pada ternak. Sehingga akibatnya terjadi pergeseran dan mulai menggunakan beberapa antibiotika yang umum dipakai. 

Sebab, jika resistensi antibiotik dialami seseorang, tidak ada antibiotik yang bisa membantu jika terjadi infeksi. Sebab jumlah antibiotik yang ada masih terbatas dan untuk membuat antibiotik baru dibutuhkan 8 kali penelitian. Dalam 1 kali penelitian bisa sampai 2 triliun, Jadi butuh 16 triliun untuk menemukan 1 antibiotik baru. Dan waktunya tidaklah singkat. 

Jadilah pasien yang cerdas dan kritis, konsultasikan dengan baik kepada dokter yang dipercaya atau bisa manfaatkan gadget untuk mengecek obat yang diresepkan apakah sesuai dengan keluhan yang sedang dirasakan karena tidak semua jenis penyakit memerlukan antibiotika dan jika hanya batuk/pilek mungkin tubuh hanya butuh rehat daripadatnya rutinitas bukan antibiotika. 

Sayangi tubuh dengan mengedepankan pencegahan dan bijak menggunakan antibiotika. Upayakan mengkonsumsi makanan yang sekiranya tidak mengandung antibiotik dan perbanyak aktivitas fisik jika merasa tubuh kurang sehat. 


You Might Also Like

0 komentar

Paling Banyak Dibaca

Subscribe