Japan Internship and Homestay Program 2018

Senin, Februari 26, 2018


Cuaca boleh dingin, cuma team menghangatkan!
Weekend'n bersama di Kinkakuji Kyoto Japan, 2018

Tidak terasa sudah satu minggu saya mengikuti program Internship di Kyoto. Jadi selama seminggu ini saya mengikuti program Japan Homestay 2018 dari Gerakan Mari Berbagi. Saya menjadi salah satu dari 7 peserta yang berangkat ke Kyoto, Jepang selama satu bulan untuk internship sesuai dengan bidang yang ditekuni atau yang ingin dipelajari. 

Kebetulan saya ditempatkan di Department of Public Administrative Science for Community Health, Medicine, and Welfare, Kyoto Prefectural University of Medicine Graduate School of Medical Science. Di Departemen ini saya belajar tentang beberapa kebijakan kesehatan, permasalahan kesehatan di Kyoto, project-project penelitian yang sedang dikerjakan departemen ini, terlibat dalam beberapa aktivitas komunitas, dan juga kegiatan perkuliahan yang terkait bidang community health, medicine, and welfare. Saya sangat senang dapat diterima dengan baik, mengenalkan Bali/Indonesia, bertemu dengan orang-orang hebat yang memberikan saya kesempatan untuk belajar banyak di Departemen ini.

Selama satu minggu ini, mengamati sekeliling, saya tidak hanya belajar mengenai bagaimana menjadi dosen dan peneliti yang baik dan benar tetapi belajar dari luar lingkungan kampus, bertemu dengan orang-orang baru secara tidak langsung dapat memberikan pengetahuan yang berharga.

 

*Berikut hal-hal yang saya pelajari di Kyoto*

 

Bertukar Kartu Nama

Jika berkenalan dengan orang baru, salah satu budaya unik di Jepang adalah bertukar kartu nama. Jadi sangat penting untuk memahami bahwa Japanese suka bertukar kartu nama untuk mengenal seseorang lebih dekat dan menjaga networking dengan baik kedepannya. Menurut saya ini merupakan kebiasaan yang sangat baik, sehingga apabila ada keperluan dan untuk menjaga komunikasi, saya rasa akan lebih mudah.

Menggunakan ID wajib bagi seluruh civitas dan Bertukar Kartu nama itu bermanfaat

 Mengapresiasi hal-hal kecil

Jadi pada hari pertama saya sampai di Kyoto, Dede-san, Kiku-san, Hiroshi-san, dan saya menerima tamu yang merupakan teman dekat kami, yaitu Ota Takashi-san. Kami memasak dan makan malam bersama. Memasak dan makan malam menjadi moment yang berharga dan mengasikkan, karena dengan menghabiskan waktu bersama seperti ini akan mendekatkan kita satu sama lain. 
 
Masak dan Makan malam bersama

Terlebih lagi Ota-san membawa beberapa hadiah kecil yang menurut saya biasa saja dari segi bentuk barangnya, tetapi orang Jepang sangat mengapresiasi barang tersebut mengingat value dari barang itu merupakan hasil karya komunitas binaan istri Ota-san yang sempat bekerja di Afrika untuk menjalankan proyek sosial. Jadi bukan bentuk/kecil-besarnya hadiah tersebut tetapi bagaimana proses pembuatan, ketulusan memberikan hadiah tersebut dan value dari barang tersebut.
Spring bentar lagi nih Sakura udah mulai bermekaran

Kemudian, saat teman-teman dan saya berkunjung kebeberapa tempat wisata/pura di Kyoto contohnya, menurut saya Indonesia jauh lebih Indah, apalagi Bali khususnya banyak tempat-tempat yang sangat indah dan unik. Tetapi Japanese membuat tempat-tempat menjadi terlihat dan dirasakan begitu istimewa karena tercermin betapa bangganya mereka terhadap budaya, cara menyampaikan stories-sejarahnya, dan merawatnya dengan tulus. Sangat menjaga kebersihan, kerapihan, dan satu lagi nih yang paling penting; jangan sampai kalian masuk ke area yang sudah jelas-jelas tidak boleh diinjak apalagi mematahkan batang/tangkai atau memetik bunga Sakura. Karena perbuatan tersebut sangat tercela disini. Apalagi menabrak pohon Sakura behh mending tabrak tiang listrik aja dahh wkwk. Yaa begitulah mereka sangat menghargai budaya dan kekayaan bangsanya. Jadi kalian jangan sampai membawa kebiasaan syalallalala menginjak/memetik sesuatu sembarangan yaa hehe

 

Menghabiskan semua makanan dan Green Tea

Di Jepang sangat dianjurkan untuk menghabiskan makanan yang telah disajikan/diambil, nambah lagi merupakan hal biasa jadi jangan ngambil bayak tapi gak abis, mending dikit-dikit. Jangan sampai ada sisa, karena budaya Jepang yang sangat menghargai makanan dari jerih payah petani dalam menghasilkan makanan tersebut sampai ke meja makan. Jadi orang Jepang akan sangat kecewa apabila tidak dihabiskan. 
Matcha Ceremony in Kitano Tenmanguji

Nahh menyinggung tentang teh kebanggaan Jepang satu ini memang sangat menarik. Minggu kemarin, hostfam dan saya berkesempatan untuk mengikuti Tea Ceremony. Banyangin dehhh, tidak hanya wisatawan yang datang, tetapi Japanese juga datang untuk ikut sekaligus beribadah. Merupakan kebiasaan Japanese, untuk mengikuti Ujian masuk PT misalnya, siswa akan berbondong-bondong untuk berdoa dan hal tersebut sangat dianjurkan. Nahh lanjut, untuk mendapatkan pengalaman Tea Ceremony ini, kita harus mengantri selama lebih dari 2 jam (tiket sudah pesan jauh hari) hanya untuk kurang dari 10 menit duduk, Teh disajikan oleh Geisha! Hemm sungguh-sungguh yaa...

 

Sampah dan Daur Ulang

Budaya memisahkan sampah, mendaur ulang kembali, dan membawa sampah pulang kerumah merupakan hal biasa yang sudah diajarkan dari lingkungan keluarga di Jepang. Japanese sangat detail dengan masalah sampah; mulai dari sampah botol, plastik, organik, kertas, sampai dengan sumpit. Sampah seperti kertas dan botol dibawa kembali ke supermarket seperti Family Mart dan 7Eleven (maaf yee nyebut merek, tapi memang disini banyak Family Mart ama 711) untuk kemudian didaur ulang. Kebiasaan ini dilakukan oleh semua Japanese dan mereka sangat sadar bahwa masalah sampah ini bukan hanya urusan dari petugas kebersihan tetapi tanggung jawab semua orang. Sampah bungkus pudding contohnya, dicuci dulu guys sebelum dibawa ke toko lagi, bersih! 
Memang Jepang menaruh perhatian lebih sama Sampah

In Time

Tepat waktu (on time) termasuk kategori telat di Jepang. Pengalaman saya mengikuti kelas yang jadwalnya mulai pukul 15.00, Mahasiswa sudah ada dikelas lengkap pukul 14.45 dan sebagian besar dosen akan datang paling lambat 10 menit sebelum kelas dimulai. Gak ada yang namanya presensi (cek kehadiran). Waktu yang tersisa sebelum kelas tersebut digunakan untuk membagikan paper dan menyiapkan slide presentasi. Hal ini berlaku juga bagi pertemuan-pertemuan lainnya. Ditambah lagi slide presentasi biasanya tidak dibagikan kepada mahasiswa, jadi mahasiswa harus membaca buku/rujukan dan sebagian besar slide dibuat sangat menarik dengan kartun-kartun Jepang dan video-video terkait. Gak ngantuk dehh yaa... 
Saking In timenya nih setiap sudut ada Jam, turun tangga pun ada Jam ini haha

 Disiplin dan Menepati Janji

Japanese saya akui sangat disiplin, terstruktur, dan menepati janjinya dan memang sangat terkenal dengan kerja kerasnya. Jangankan janji, bus sama kereta aja berhentinya tepat waktu hiaks. 
Saking fokusnya kuliah-kerja rata-rata Japanese itu Jomblo guys (iyee Jombloooo haha) dan memilih untuk tidak menikah supaya gak ribet pokoknya haha. Tapi dari hasil kepo-kepo nih yaaa, cewek Jepang sangat suka cowok Indonesia loo katanya lebih Macho dan Gentle, tapi sayang cowok Jepang lebih suka cewek western macam Rusia gitu wkwk. Mungkin gegara Altet ice-skating cewek rusia cahkep" parah...

Namun, kebanyakan teman saya dikelas mengatakan tidak ada waktu untuk yang namanya nge-date nihh, karena sibuk nge-date-an di perpus sama buku/jurnal yang harus segera dituntaskan untuk dibaca, perpus full apalagi menjelang musim ujian perpus penuh. Padahal nih yaa gak diharuskan untuk membaca apalagi dikasi PR. Gak pernah ada PR guyss wkwkwk cuma mereka tetap disiplin untuk mengembangkan diri intinya.. That's a good point tough...

Kemudian, Japanese selalu menulis apa yang akan dikerjakan di sebuah note kecil atau kalender pribadi. Sehingga tidak ada kemungkinan untuk lupa atau pura-pura lupa terhadap janji. Gak ada namanya follow -up karena dipastikan mereka "Ingat". Apabila ada keperluan mendesak maksimal satu hari sebelumnya sudah mengkonfirmasi sehinga tidak akan ada kesalahpahaman. Matsui sensei pernah berkata kepada saya, apabila ada orang yang telat/mengingkari janji maka cenderung beliau tidak akan mau bertemu lagi dengan orang tersebut (less respected). Karena, menepati janji adalah bagian dari menghormati waktu orang lain. 

 

Jalan Kaki-Sepedaan

Yups, memang sangat lumrah sekali apabila di beberapa negara di luar negeri, warganya lebih suka berjalan kaki dan menggunakan sepeda. Disamping memang memiliki kendaraan membutuhkan uang yang cukup lumayan, isu kesehatan juga menjadi salah satu faktor utamanya. Di Jepang, parkir mobil aja bisa mencapai 300 yen (Rp. 37.500) hanya untuk 30 menit saja, jadi bisa dibayangkan betapa mahalnya hidup disini haha. Jadi tidak heran kalau berjalan kaki, menggunakan bus/kereta, dan sepedaan menjadi alternatif yang banyak dipilih untuk berpergian. 

 

Banyak yang bawa sepeda nih di Perpustakaan

 Kebanggaan Japanese

Jadi selama saya berada di Jepang nih, ada namanya Winter Olimpics di Korea Selatan. Jadi salah satu program pemerintah Jepang mendukung (Kementerian Kesehatan Jepang) rutin mengadakan semacam olimpic/kegiatan keolahragaan dengan tujuan agar warganya tertarik untuk ikut berolahraga. Jadi bisa berkontribusi dalam menjaga kesehatan warganya. 
Setiap harinya hostfamily, teman-teman di kantor, sampai dengan sensei menonton TV untuk melihat para altet Jepang yang mewakili berlaga di Korea Selatan. Foto-foto beberapa atlet yang meraih medali emas ditempel hampir disetiap sudut gedung dan menjadi topik perbincangan saat makan siang. Sungguh menarik... 

Yuzuru Hanyu of Japan during his gold medal winning Free Skate at 2018 PyeongChang Winter Olympics, Gangneung Ice Arena, South Korea (Poster Hanyu ini ada dimana-mana dahh pokoknya haha)
Btw, serial TV di Jepang juga gak banyak sponsornya jadi nyenengin kalau nonton TV. 
Tambahan lagi nih makanan di Jepang memang sangat "Artistic" disajikan begitu unik dan menarik. Banyak sayur dan buah cenderung sehat tak banyak minyak. Jadi tak heran Japanese harapan hidupnya tertinggi di dunia. 

Paling mengesankan nih Toilet Jepang yang nyamannya kebangetan, unik, dan tentunya sebenernya mempermudah penggunanya (kalau paham) XD

Nahh tuhhh apa gak bingung klo mau pipis, tombolnya banyak warna-warni lagi  XD


 Fasilitas yang memadai

Sekarang saya paham kenapa banyak peneliti lebih suka menetap di Jepang. Fasilitas penelitian/laboratorium sangat lengkap dan dapat digunakan tanpa ada prosedur yang menyulitkan. Bahkan saya mendapatkan akses gratis untuk menggunakan semua fasilitas tapi tetap harus bertanggungjawab. Jurnal-jurnal penelitian dapat diakses secara gratis, akses komputer-internet yang memadai, serta copy-print sesuka hati, cuma yang patut kita contoh nih walaupun gratis tetap hemat kertas dan listrik warganya jadi paling utama adalah tumbuhkan rasa memiliki sangat penting. 


Tempat yang nyaman untuk bekerja dan belajar

 
Copy-Print sesuka hati, pakai fasilitas lab juga nyaman sekali

Kenyamanan ini yang membuat kadang-kadang hati peneliti terkikis apabila kemudian mendapati fasilitas tersebut tidak dapat disediakan oleh institusi di negara sendiri, cuma dari sini pasti kedepan negara kita bisa lebih baik. Sedih kalau banyak nih orang-orang jenius kita pada memilih menetap dan memajukan negara lain karena merasa lebih di apresiasi/dihargai dan ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Bahkan di universitas tempat saya magang khusus ada laboratorium statistik dimana komputer tersebut khusus berisi aplikasi analisis data dan digunakan untuk menyimpan data-data terkait penelitian. Fasilitasnya juga rata-rata membuat semua pekerjaan serasa jadi lebih mudah. Tak heran banyak barang-barang aneh dan fungsinya unik bikin geleng-geleng kepala haha. Menyilaukan memang...

 

"Maaf" dan "Terimakasih" dan Bahasa Tubuh

Nahh nahh ini nih sorry and thankyou selalu saya dengar bahkan tanpa alasan yang jelas. Ini merupakan budaya yang saya sangat sukai dari Japanese. Mengatakan maaf dan terimakasih walaupun tanpa sebab menunjukan bahwa kita sangat menghormati orang tersebut dan Japanese sangat menghormati satu sama lain. Mengucapkan hal tersebut bukan berarti salah/lebih rendah tetapi bagian dari respect terhadap orang lain. Proud!
Kemudian sebagian besar Japanese memang lebih suka memberikan bahasa tubuh dan kode-kode, sering kali malu/sungkan sekali untuk berkata langsung sehingga kita harus PEKA terhadap apa yang mereka maksud. Memang Japanese sangat baik dan membantu sekali tapi jangan sampai keenakan dan jadi menyusahkan yaa haha

Satu lagi nih, Japanese suka kalik mengucakan salam seperti Ohayou (selamat pagi) ...

 

It's Okay untuk Tidak Tahu dan Keingintahuan yang Tinggi

Matsui sensei mengajarkan saya banyak hal mulai dari awal saya masuk departemen beliau. Selama mengikuti kelas, beliau tidak sungkan berkata bahwa "Saya tidak tahu, apakah ada yang lebih tahu dikelas ini, mohon untuk membantu saya" akhirnya ada mahasiswa lain yang mencoba menjelaskan, dannnn apresiasi beliau terhadap mahasiswa tersebut membuat saya terkesima. Saya yang remah-remah peyek gini aja sering kali dipuji-puji padahal mah masih debu banget, cerita tentang bagaimana kondisi/permasalahan kesehatan di Bali/Indonesia, budaya dll aja caranya berterima kasih terkesan berlebihan tetapi begitulah Japanese, begitulah disini.. 
Jadi tidak ada tuh sok-sok tahu untuk terlihat paling pintar padahal mah selama mengikuti kelas nih, untuk masuk ke Universitas aja ujian susahnya ampyunnn, pinternya kebangetan bikin minder dan rata-rata mah temen-temen pada bilang hobinya main game online, shopping, sama ke salon tuhh gimana tuhh bahkan rata-rata emang pada muka bantal kalau ngampus haha.
Cuma yaa memang kalau Japanese belajar yaa belajar, dugem ya dugem, pokoknya fokus!

Kalau pepatah Bali "Ede ngaden awak bise, depang anake ngadanin" hmm Padi banget, makin berisi makin merunduk :)

Sebelum kelas dikasi paper kan yaa, nah liat deh slidenya menarik banget bikin gampang paham (Kelas Tobacco Control)


Menurut saya Jarak antara dosen dan mahasiswa seperti kakak sendiri apalagi saat sesi diskusi rasanya berdiskusi dengan kakak sendiri, mengayomi sekali. Tetapi karena sejak kecil Japanese sudah diajari tentang budaya menghormati orang yang lebih tua/senior, saya mengamati sebagian besar Japanese tetap mengetahui batasan antara mahasiswa dan dosen, jadi gak bakal ngelunjak jadi mahasiswa hoho.

Prof. Watanabe, me, Matsui sensei

Tetapi, percayalah dosen disini itu baik-baik sekali bahkan meluangkan waktu sampai larut untuk membimbing mahasiswanya jika diperlukan, dedikasi seorang pendidik memang sangat terasa sekali. Japanese juga sangat suka bertanya (jika sudah kenal dekat) jadi saya sering kali diajak untuk makan siang bersama agar bisa melatih bahasa inggris mereka dan ingin tahu saya lebih dekat. Ini salah satu trik Japanese untuk mengenal kita lebih jauh sehingga di hari-hari selanjutnya mereka akan otomatis membawa topik diskusi sesuai dengan minat kita. Kerennn nih triknya macam-macam pedekatean gitu bisa lebih lancar dan tepat sasaran jadi ujungnya bakal bikin nyaman untuk menghabiskan waktu "hang-out". Hal ini juga berlaku didunia profesional loo. 
Terus, kebanyakan setelah pulang kerja, senior akan makan bersama dengan junior-juniornya, dinner dan minum alkohol bersama untuk menjaga kerekatan hubungan sehingga meminimalkan terjadinya salah paham. Jadi kalau udah yang namanya kumpul bersama, semua terasa seperti teman. Tidak ada gap antara bos/staf.

 _______________________________________________________________
Selain hal-hal positif tersebut, memang terdapat hal-hal yang menurut saya kurang pas dihati tentang Budaya/Kebiasaan dari orang Jepang. Tetapi menurut saya mengambil hal-hal positif untuk diterapkan pada diri sendiri lebih baik dari pada melihat kesalahan atau hal-hal buruk dari suatu hal. Beberapa foto-foto kegiatan dan cerita singkat kegiatan saya bisa dilihat di Album ini .


 
Penasaran dengan kegiatan minggu kedua saya?
Tunggu cerita selanjutnya...

You Might Also Like

0 komentar

Paling Banyak Dibaca

Subscribe