Mengapa Perlu Fokus Pada Primary Health Care ?
Selasa, Oktober 04, 2016
Setelah melewati bulan September tanpa ada tulisan sama sekali mungkin ini blog udah debuan kali yaaa hemmm…
Welcoming Oktober dengan Semangat baru Wid !
Dibulan Oktober ini aku tertarik dengan begitu membingungkannya BPJS Kesehatan, Badan yang mengelola JKN di Indonesia ini memang masih dalam tahap terus memperbaiki diri karena sudah hampir dua tahun program ini berjalan. Pun demikian hal-hal didalamnya memang selalu dapat menyita perhatianku.
Welcoming Oktober dengan Semangat baru Wid !
Dibulan Oktober ini aku tertarik dengan begitu membingungkannya BPJS Kesehatan, Badan yang mengelola JKN di Indonesia ini memang masih dalam tahap terus memperbaiki diri karena sudah hampir dua tahun program ini berjalan. Pun demikian hal-hal didalamnya memang selalu dapat menyita perhatianku.
(Source : Google.com) |
Masuknya era BPJS di awal 2014 bukan hanya menandai salah satu kebijakan sosial terbesar dalam konteks target individu yang ingin dicakup-dalam sejarah Indonesia pasca reformasi, tapi juga suatu guncangan (shock) atas kebiasaan yang mengakar lebih kurang 20 tahun kebelakang. Mengapa demikian?
Peralihan kepada sistem asuransi sosial dari yang sebelumnya biaya untuk pelayanan (fee for services) memberikan insentif bagi pemerintah untuk melakukan cost containment. Sebab sekarang tiap individu yang sakit, pengeluaran biaya kesehatannya saat sakit wajib ditanggung pemerintah sebagai pihak penjamin (insurer).
Tentu kebijakan ini baik, sebab hadirnya BPJS mengangkat halangan finansial saat akan mengakses layanan kesehatan. Kini orang tak lagi khawatir bangkrut saat berobat. Konsekuensi dari peralihan sistem pembiayaan ini juga (kembali) mengaktifkan Puskesmas (dan klinik ataupun praktik pribadi dokter umum diluar Puskesmas) sebagai titik kontak pertama pasien. Dulu pasien dapat langsung pergi ke Rumah Sakit untuk mendapatkan layanan, sekarang tidak lagi demikian (kecuali adanya kegawat daruratan). Ini adalah mekanisme rasionalisasi (rationing of health care) sebab tidak semua pelayanan perlu (necessary) untuk dilakukan di tingkat rumah sakit.
Implikasinya adalah Puskesmas diharapkan menjadi penyedia layanan yang mampu mengurangi biaya (agregat) yang harus ditanggung BPJS (sebagai penjamin) dan juga sebagai pusat upaya kesehatan masyarakat yang berorientasi pada tindakan pencegahan. Signifikansi peran Puskesmas bukan hal yang baru di Indonesia. Pasca ditandatanganinya Bandung Plan pada tahun 1951 oleh Johannes Leimena dan disempurnakan di 1970an, Puskesmas hadir di setiap kecamatan sebagai unit pelayanan terpadu tingkat pertama. Pra reformasi 1998, melalui kebijakan wajib dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) Puskesmas selalu terisi dokter hingga 1993 ketika Indonesia meratifikasi rekomendasi ILO tentang (forced labor). PTT pun hilang dan hadirnya desentralisasi pasca reformasi berimplikasi pada Puskesmas yang kosong dan variasi yang lebar antar daerah dalam urusan upaya menyehatkan masyarakat.
Hal ini juga tidak membaik dengan adanya kesepakatan Indonesia dengan IMF saat krisis 1998, yang salah satu poin kesepakatannya ialah melonggarkan ruang fiskal dengan mengurangi subsidi dan penyediaan layanan publik, termasuk kesehatan. Ini pula salah satu sebabnya anggaran kesehatan pada masa pemerintahan Presiden SBY tidak pernah lebih dari 5% yang dimandatkan UU Kesehatan. Kondisi ini berlangsung setidaknya hingga tahun 2014, ketika kebijakan BPJS mulai berjalan dan adanya kebijakan internsip bagi lulusan dokter. Puskesmas kembali mendapatkan spotlightnya, dan mulai kembali terisi.
Peralihan kepada sistem asuransi sosial dari yang sebelumnya biaya untuk pelayanan (fee for services) memberikan insentif bagi pemerintah untuk melakukan cost containment. Sebab sekarang tiap individu yang sakit, pengeluaran biaya kesehatannya saat sakit wajib ditanggung pemerintah sebagai pihak penjamin (insurer).
Tentu kebijakan ini baik, sebab hadirnya BPJS mengangkat halangan finansial saat akan mengakses layanan kesehatan. Kini orang tak lagi khawatir bangkrut saat berobat. Konsekuensi dari peralihan sistem pembiayaan ini juga (kembali) mengaktifkan Puskesmas (dan klinik ataupun praktik pribadi dokter umum diluar Puskesmas) sebagai titik kontak pertama pasien. Dulu pasien dapat langsung pergi ke Rumah Sakit untuk mendapatkan layanan, sekarang tidak lagi demikian (kecuali adanya kegawat daruratan). Ini adalah mekanisme rasionalisasi (rationing of health care) sebab tidak semua pelayanan perlu (necessary) untuk dilakukan di tingkat rumah sakit.
Implikasinya adalah Puskesmas diharapkan menjadi penyedia layanan yang mampu mengurangi biaya (agregat) yang harus ditanggung BPJS (sebagai penjamin) dan juga sebagai pusat upaya kesehatan masyarakat yang berorientasi pada tindakan pencegahan. Signifikansi peran Puskesmas bukan hal yang baru di Indonesia. Pasca ditandatanganinya Bandung Plan pada tahun 1951 oleh Johannes Leimena dan disempurnakan di 1970an, Puskesmas hadir di setiap kecamatan sebagai unit pelayanan terpadu tingkat pertama. Pra reformasi 1998, melalui kebijakan wajib dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) Puskesmas selalu terisi dokter hingga 1993 ketika Indonesia meratifikasi rekomendasi ILO tentang (forced labor). PTT pun hilang dan hadirnya desentralisasi pasca reformasi berimplikasi pada Puskesmas yang kosong dan variasi yang lebar antar daerah dalam urusan upaya menyehatkan masyarakat.
Hal ini juga tidak membaik dengan adanya kesepakatan Indonesia dengan IMF saat krisis 1998, yang salah satu poin kesepakatannya ialah melonggarkan ruang fiskal dengan mengurangi subsidi dan penyediaan layanan publik, termasuk kesehatan. Ini pula salah satu sebabnya anggaran kesehatan pada masa pemerintahan Presiden SBY tidak pernah lebih dari 5% yang dimandatkan UU Kesehatan. Kondisi ini berlangsung setidaknya hingga tahun 2014, ketika kebijakan BPJS mulai berjalan dan adanya kebijakan internsip bagi lulusan dokter. Puskesmas kembali mendapatkan spotlightnya, dan mulai kembali terisi.
Source : google.com |
Tentu pertanyaannya adalah, mengapa perlu fokus pada primary health care?
Pertama adalah temuan transisi epidemiologis dari dulu dominan penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Di Indonesia, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian pertama. Diluar dari soal mortalitas, faktor risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan masalah berat badan juga tidak menggembirakan. Roemling (2012) menggunakan Indonesian Family Life Survey (IFLS) panel data (1993, 2000, 2007) menemukan di tahun 1993 level pre-obesitas pada perempuan sebanyak 22.33 % dan perempuan yang obesitas sebanyak 9.67%. Jumlah ini tidak menurun di tahun 2007. Sementara itu, rata-rata tekanan darah populasi di Indonesia secara konsisten meningkat sejak tahun 1980. Laporan WHO (2011) tentang Penyakit Tidak Menular juga menyatakan bahwa 62% kematian orang Indonesia yang disebabkan karena PTM sebenarnya dapat dicegah/dihindari.
Kedua, analisis empirik di negara-negara Eropa oleh Macinko, Starfield, dan Shi (2003) menyimpulkan kuatnya sistem kesehatan mereka ditentukan salah satunya oleh kekuatan performa sistem pelayanan kesehatan primer. Kuatnya sistem pelayanan kesehatan primer berkorelasi negatif dengan mortalitas prematur yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Temuan lainnya adalah regulasi, koordinasi, dan orientasi pada komunitas meningkatkan kesehatan masyarakat.
Kedua alasan diatas dan juga hadirnya BPJS sebenarnya memberikan ruang finansial bagi Puskesmas untuk memberikan atensi pada program upaya kesehatan masyarakat, sebab BPJS menanggung biaya upaya kesehatan perorangan (yang tercakup asuransi). Namun pada praktiknya tidak demikian. Alokasi dana untuk kesehatan masyarakat sejak Desentralisasi tahun 2001 dan pasca era BPJS tidak mengalami perubahan signifikan (Heywood dan Shoi, 2010). Memang benar alokasi dana setelah adanya BPJS mencapai 5% dari APBN, namun ini karena dana iuran BPJS sekarang ‘dihitung’ dana kesehatan. Tentu hal ini bukan tanpa sebab. Inovasi program pemerintah untuk pengelolaan faktor risiko penyakit tidak menular juga tidak terlihat sejak inisiatif Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) diluncurkan tahun 2011.
Jumlah pertambahan Posbindu sejak diluncurkan relatif stagnan dan belum ada evaluasi resmi soal efektifitas program ini. Di tahun yang sama, ada wacana untuk meningkatkan pajak untuk garam dan gula di tahun yang sama. Namun sebagaimana Posbindu, wacana ini juga menguap. Kekosongan ini melahirkan gerakan alternatif untuk menjaga kesehatan seperti Bike To Work yang menganjurkan penggunaan sepeda untuk komuter dari dan ke tempat kerja.
Kekhawatiran lebih besar adalah apakah sistem pembiayaan kepada penyedia layanan kesehatan primer kompatibel untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui kegiatan promotif dan preventif. Pembiayaan dengan metode kapitasi memang sangat baik dalam mengurangi pelayanan yang tidak perlu untuk kontrol beban biaya BPJS. Tapi metode kapitasi juga berpotensi untuk terjadinya under provision of services sampai pada titik mengurangi kualitas luaran kesehatan pasien. Di berbagai negara OECD yang mengelola asuransi sosial skala besar, akuntabilitas kualitas pelayanan adalah hal yang tidak terpisahkan. Sebab adanya sistem pelayanan kesehatan bukan hanya untuk mencegah kematian, but also to improve the quality of life (Anand, 2004; Sen, 2002).
Disinilah letak persoalan penting jika bukan paling penting dan urgen saat ini dalam konteks Indonesia, yakni persoalan indikator performa pada setting klinik, baik Rumah Sakit maupun penyedia layanan kesehatan primer. Indonesia bukan berarti tidak punya indikator ini, ada proses Audit Medik dan Kebijakan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit misalnya dan Puskesmas memiliki target pencapaian setiap tahunnya. Dalam konteks upaya promotif dan preventif, Puskesmas baru melakukan deteksi rerata penyakit di populasi target. Indikator ini penting untuk memproyeksikan berapa biaya operasional yang akan diperlukan tahun anggaran mendatang. Namun ini pun belum maksimal sebab misproyeksi pengeluaran BPJS Kesehatan kemungkinan besar menggunakan data Puskesmas.
Disisi lain, indikator-indikator tersebut tidak menangkap secara utuh bagaimana performa pelayanan kesehatan diberikan. Sebagai perbandingan, di Inggris indikator Primary Care tidak hanya memiliki indikator deteksi, tapi juga indikator performa. Setiap "Puskesmas" di Inggris punya data siapa yang menderita diabetes dan berapa dari yang menderita berhasil dijaga kadar gula darahnya tetap dibawah batas yang telah ditentukan. Puskesmas disana juga menghitung berapa pasien diabetes yang mengalami komplikasi sehingga harus ditangani di Rumah Sakit. Lebih dari itu, semua proses analisis dari indikator-indikator ini dikelola secara terpusat (oleh National Health Services UK) sehingga kualitas layanan di “Puskesmas” Inggris relatif sama di seluruh tempat.
Untuk sistem Pay for Performance, di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan itu untuk menyempurnakan sistem pembayaran kapitasi yg telah ada berdasarkan rekomendasi dari KPK karena melihat belum optimalnya pelayanan primer yang diberikan kepada peserta JKN padahal dana kapitasi yg dikucurkan telah sangat besar. Bentuk Pay For Performance ini di Indonesia berupa pembayaran kapitasi berbasis komitmen yg dinilai dari :
1) Jumlah Rujukan Non Spesialistik <5%
2) Jumlah peserta prolanis yang terpantau
3) Serta angka kontak min 150 per mil. Dimana masing-masing dibagi dlm zona tidak aman, aman, dan prestasi. Selain itu, pembayaran kapitasi saat ini juga telah memperhitungkan rasio perbandingan tenaga dokter umum dibandingkan jumlah peserta terdaftar idealnya menurut standar WHO 1:2500 namun, berhubung tenaga dokter Indonesia masih terbatas, standar 1:5000, maka di BPJS Kesehatan akan menutup pendaftaran peserta JKN bila memilih dokter umum yg rasio peserta melebihi 1:5000 untuk puskesmas yg memasuki zona prestasi dari pembayaran kapitasi berbasis komitmen, saat ini belum bisa mendapatkan insentif kapitasi melebihi Rp 6000 / jiwa / bulan krn regulasi dlm permenkes 59 th 2015 yg diubah dlm permenkes 12 th 2016 ttg standar tarif pelayanan JKN, baru menyatakan bhw pembayaran kapitasi d pkm hanya sd 6000
Pertama adalah temuan transisi epidemiologis dari dulu dominan penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Di Indonesia, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian pertama. Diluar dari soal mortalitas, faktor risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan masalah berat badan juga tidak menggembirakan. Roemling (2012) menggunakan Indonesian Family Life Survey (IFLS) panel data (1993, 2000, 2007) menemukan di tahun 1993 level pre-obesitas pada perempuan sebanyak 22.33 % dan perempuan yang obesitas sebanyak 9.67%. Jumlah ini tidak menurun di tahun 2007. Sementara itu, rata-rata tekanan darah populasi di Indonesia secara konsisten meningkat sejak tahun 1980. Laporan WHO (2011) tentang Penyakit Tidak Menular juga menyatakan bahwa 62% kematian orang Indonesia yang disebabkan karena PTM sebenarnya dapat dicegah/dihindari.
Kedua, analisis empirik di negara-negara Eropa oleh Macinko, Starfield, dan Shi (2003) menyimpulkan kuatnya sistem kesehatan mereka ditentukan salah satunya oleh kekuatan performa sistem pelayanan kesehatan primer. Kuatnya sistem pelayanan kesehatan primer berkorelasi negatif dengan mortalitas prematur yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Temuan lainnya adalah regulasi, koordinasi, dan orientasi pada komunitas meningkatkan kesehatan masyarakat.
Kedua alasan diatas dan juga hadirnya BPJS sebenarnya memberikan ruang finansial bagi Puskesmas untuk memberikan atensi pada program upaya kesehatan masyarakat, sebab BPJS menanggung biaya upaya kesehatan perorangan (yang tercakup asuransi). Namun pada praktiknya tidak demikian. Alokasi dana untuk kesehatan masyarakat sejak Desentralisasi tahun 2001 dan pasca era BPJS tidak mengalami perubahan signifikan (Heywood dan Shoi, 2010). Memang benar alokasi dana setelah adanya BPJS mencapai 5% dari APBN, namun ini karena dana iuran BPJS sekarang ‘dihitung’ dana kesehatan. Tentu hal ini bukan tanpa sebab. Inovasi program pemerintah untuk pengelolaan faktor risiko penyakit tidak menular juga tidak terlihat sejak inisiatif Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) diluncurkan tahun 2011.
Jumlah pertambahan Posbindu sejak diluncurkan relatif stagnan dan belum ada evaluasi resmi soal efektifitas program ini. Di tahun yang sama, ada wacana untuk meningkatkan pajak untuk garam dan gula di tahun yang sama. Namun sebagaimana Posbindu, wacana ini juga menguap. Kekosongan ini melahirkan gerakan alternatif untuk menjaga kesehatan seperti Bike To Work yang menganjurkan penggunaan sepeda untuk komuter dari dan ke tempat kerja.
Kekhawatiran lebih besar adalah apakah sistem pembiayaan kepada penyedia layanan kesehatan primer kompatibel untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui kegiatan promotif dan preventif. Pembiayaan dengan metode kapitasi memang sangat baik dalam mengurangi pelayanan yang tidak perlu untuk kontrol beban biaya BPJS. Tapi metode kapitasi juga berpotensi untuk terjadinya under provision of services sampai pada titik mengurangi kualitas luaran kesehatan pasien. Di berbagai negara OECD yang mengelola asuransi sosial skala besar, akuntabilitas kualitas pelayanan adalah hal yang tidak terpisahkan. Sebab adanya sistem pelayanan kesehatan bukan hanya untuk mencegah kematian, but also to improve the quality of life (Anand, 2004; Sen, 2002).
Disinilah letak persoalan penting jika bukan paling penting dan urgen saat ini dalam konteks Indonesia, yakni persoalan indikator performa pada setting klinik, baik Rumah Sakit maupun penyedia layanan kesehatan primer. Indonesia bukan berarti tidak punya indikator ini, ada proses Audit Medik dan Kebijakan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit misalnya dan Puskesmas memiliki target pencapaian setiap tahunnya. Dalam konteks upaya promotif dan preventif, Puskesmas baru melakukan deteksi rerata penyakit di populasi target. Indikator ini penting untuk memproyeksikan berapa biaya operasional yang akan diperlukan tahun anggaran mendatang. Namun ini pun belum maksimal sebab misproyeksi pengeluaran BPJS Kesehatan kemungkinan besar menggunakan data Puskesmas.
Disisi lain, indikator-indikator tersebut tidak menangkap secara utuh bagaimana performa pelayanan kesehatan diberikan. Sebagai perbandingan, di Inggris indikator Primary Care tidak hanya memiliki indikator deteksi, tapi juga indikator performa. Setiap "Puskesmas" di Inggris punya data siapa yang menderita diabetes dan berapa dari yang menderita berhasil dijaga kadar gula darahnya tetap dibawah batas yang telah ditentukan. Puskesmas disana juga menghitung berapa pasien diabetes yang mengalami komplikasi sehingga harus ditangani di Rumah Sakit. Lebih dari itu, semua proses analisis dari indikator-indikator ini dikelola secara terpusat (oleh National Health Services UK) sehingga kualitas layanan di “Puskesmas” Inggris relatif sama di seluruh tempat.
Untuk sistem Pay for Performance, di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan itu untuk menyempurnakan sistem pembayaran kapitasi yg telah ada berdasarkan rekomendasi dari KPK karena melihat belum optimalnya pelayanan primer yang diberikan kepada peserta JKN padahal dana kapitasi yg dikucurkan telah sangat besar. Bentuk Pay For Performance ini di Indonesia berupa pembayaran kapitasi berbasis komitmen yg dinilai dari :
1) Jumlah Rujukan Non Spesialistik <5%
2) Jumlah peserta prolanis yang terpantau
3) Serta angka kontak min 150 per mil. Dimana masing-masing dibagi dlm zona tidak aman, aman, dan prestasi. Selain itu, pembayaran kapitasi saat ini juga telah memperhitungkan rasio perbandingan tenaga dokter umum dibandingkan jumlah peserta terdaftar idealnya menurut standar WHO 1:2500 namun, berhubung tenaga dokter Indonesia masih terbatas, standar 1:5000, maka di BPJS Kesehatan akan menutup pendaftaran peserta JKN bila memilih dokter umum yg rasio peserta melebihi 1:5000 untuk puskesmas yg memasuki zona prestasi dari pembayaran kapitasi berbasis komitmen, saat ini belum bisa mendapatkan insentif kapitasi melebihi Rp 6000 / jiwa / bulan krn regulasi dlm permenkes 59 th 2015 yg diubah dlm permenkes 12 th 2016 ttg standar tarif pelayanan JKN, baru menyatakan bhw pembayaran kapitasi d pkm hanya sd 6000
Formularium nasional itu di buat oleh kemenkes RI bukan BPJS Kesehatan untuk penggunaan obat sebenarnya tidak ada wewenang BPJS Kesehatan mengatur, karena yang menetapkan adalah Kemenkes dalam Formularium Nasional, dimana pembayaran di tingkat pertama dengan sistem kapitasi dan pembayaran obat untuk program rujuk balik bagi pasien penyakit kronis yang sudah stabil dan dikembalikan ke faskes tingkat pertama/dokter umumnya, dan di tingkat RS adalah INA CBGs yang sudah termasuk paket diagnosa. Yangg akan jadi masalah kalau obat di fornas, tidak terdapat di ekatalog LKPP sehingga patokan harga utk pembayarannya menjadi belum jelas bagi BPJS Kesehatan. Secara spesifik Kemenkes di tahun 2011 meluncurkan Posbindu yang khusus sebagai pusat kontak untuk penyakit PTM ini. Namun sebagaimana yang saya tulis di pengantar, kelihatannya program ini mengalami stagnasi dan belum ada evaluasi resmi soal efektifitas programnya.
1. Untuk kapitasi sebagaimana yang terdapat di literatur (dan juga yang saya tulis di pengantar, terdapat kelemahannya yakni potensi untuk under provision of services. Semakin banyak yang memeriksakan kesehatan, maka semakin berkurang pendapatannya. Dengan kata lain potensi "gaming" yang dilakukan provider jadi persoalan inti di sistem prospektif. Inggris (Eropa) dan AS kemudian menyusul mengadopsi sistem pay for performance ini. Dimana terjadi mixing dalam pembiayaan. Ada salary flat yang berkontribusi sekitar 40-60% pendapatan dan sisanya didapat dari seberapa baik mereka menangani pasien di tingkat primer.
Jadi ada insentif untuk menyediakan kualitas tanpa konsekuensi perilaku yang ekstrim (fee for service di ekstrim satu dan kapitasi di ekstrim lainnya). Hal penting lainnya adalah kontrol yang kuat, penelitian empirik setelah diterapkannya pay for performance ini menyimpulkan meski gaming tetap ada, tapi tidak ada peningkatan.
2. Inggris dan kebanyakan negara Eropa yang dominan asuransi sosial menggunakan mekanisme rationing dengan cara menunggu. Ini untuk menyeleksi (dengan rekomendasi dan algoritme penyakit) mana pasien yang lebih membutuhkan cepat Di NHS sendiri memang kelihatannya ada pemisahan itu. Sebagai contoh, para dokter membuat konsorsium dan berkelompok membuat grup-grup praktek.
Lalu mereka merebutkan kontrak dari NHS untuk bisa praktek. Tapi memang standar kualitasnya tinggi sekali, dalam arti NHS memiliki Institute sendiri untuk Innovation, adapula NICE (National Institute of Clinical Excellence) yang melakukan analisis cost effectiveness untuk setiap produk medis (baik obat maupun alat diagnostik) yang akan masuk ke daftar formulariumnya. Clinical guideline juga begitu tinggi standarnya.
Terkait untuk penguatan PHC (Primary Health Care) di Indonesia sendiri, sebenarnya pemerintah melalui Kemenkes telah mengatur dlm Permenkes No 5 Th 2014 ttg Diagnosa yang harus tuntas di Faskes Primer, (diikuti KMK 514 th 2016) dimana diagnosa-diagnosa tersebut juga merupakan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Dokter Umum) yg diatur Konsil Kedokteran Indonesia, dan diagnosa-diagnosa dalam Permenkes No 5 Th 2014 tersebut termasuk ke kategori diagnosa non spesialistik, ada 155 diagnosa yg termasuk diagnosa non spesialistik/ merupakan kompetensi dokter umum.
Untuk realisasinya bagi faskes primer yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan melayani peserta JKN, pelaksanaan Permenkes No 5 Th 2014 ini diikutkan sbg salah satu poin penilaian Pembayaran Kapitasi Berbasis Komitmen (Pay For Performance), dg menghitung berapa persen jumlah rujukan ke RS untuk kasus yangg termasuk diagnosa non spesialistik yang seharusnya dapat tuntas di Faskes Primer dibanding dg jumlah rujukan Faskes primer itu seluruhnya. 155 Diagnosa itu pun kan jg blm tentu bs dipenuhi seluruhnya oleh Faskes Primer terkait kendala keterbatasan fasilitas/geografis/nakes.
Nah, untuk itu ada mekanisme peer review, dimana Faskes memilih / menentukan / menyepakati sendiri diagnosa non spesialistik mana saja yg memang dirasa mampu utk dituntaskan di faskes primernya sdr, mempertimbangkan fasilitas,sdm dan geografis d faskes itu sdr. Rujukan kasus non spesialistik ke RS jg sebenarnya tidak boleh dipandang secara 'kaku'. Dalam artian, misal, utk pasien essential hypertension (yg masuk kategori diagnosa non spesialistik dan banyak faskes primer yg merasa mampu / sepakat utk menuntaskan diagnosa tsb di tempatnya), silakan saja dirujuk ke RS bila dokter di faskes primer ini mempertimbangkan ada kondisi lain scr indikasi medis pada diri pasien, seperti : Time (lama penyakit diderita), Age (usia pasien), Comorbidity dan Complication.
Jumlah kasus non spesialistik yang dirujuk ke RS, yg terekam dlm sistem, tentu akan menjadi feedback atau masukan bagi Dinkes setempat utk menyediakan fasilitas/obat-obatan/ peningkatan jumlah/kompetensi nakes yg diperlukan. Utk melihat penyebab mengapa kasus2 yg seharusnya merupakan kompetensi dokter umum yg telah ditetapkan regulasi, malah banyak dirujuk ke dokter spesialis di RS. Misal,tingginya kasus cerumen extraction (ekstraksi cairan serumen telinga) dari Faskes Primer ke RS dapat menjadi masukan bagi Dinkes agar menyediakan fasilitas THT kit di Faskes Primer.
1. Untuk kapitasi sebagaimana yang terdapat di literatur (dan juga yang saya tulis di pengantar, terdapat kelemahannya yakni potensi untuk under provision of services. Semakin banyak yang memeriksakan kesehatan, maka semakin berkurang pendapatannya. Dengan kata lain potensi "gaming" yang dilakukan provider jadi persoalan inti di sistem prospektif. Inggris (Eropa) dan AS kemudian menyusul mengadopsi sistem pay for performance ini. Dimana terjadi mixing dalam pembiayaan. Ada salary flat yang berkontribusi sekitar 40-60% pendapatan dan sisanya didapat dari seberapa baik mereka menangani pasien di tingkat primer.
Jadi ada insentif untuk menyediakan kualitas tanpa konsekuensi perilaku yang ekstrim (fee for service di ekstrim satu dan kapitasi di ekstrim lainnya). Hal penting lainnya adalah kontrol yang kuat, penelitian empirik setelah diterapkannya pay for performance ini menyimpulkan meski gaming tetap ada, tapi tidak ada peningkatan.
2. Inggris dan kebanyakan negara Eropa yang dominan asuransi sosial menggunakan mekanisme rationing dengan cara menunggu. Ini untuk menyeleksi (dengan rekomendasi dan algoritme penyakit) mana pasien yang lebih membutuhkan cepat Di NHS sendiri memang kelihatannya ada pemisahan itu. Sebagai contoh, para dokter membuat konsorsium dan berkelompok membuat grup-grup praktek.
Lalu mereka merebutkan kontrak dari NHS untuk bisa praktek. Tapi memang standar kualitasnya tinggi sekali, dalam arti NHS memiliki Institute sendiri untuk Innovation, adapula NICE (National Institute of Clinical Excellence) yang melakukan analisis cost effectiveness untuk setiap produk medis (baik obat maupun alat diagnostik) yang akan masuk ke daftar formulariumnya. Clinical guideline juga begitu tinggi standarnya.
Terkait untuk penguatan PHC (Primary Health Care) di Indonesia sendiri, sebenarnya pemerintah melalui Kemenkes telah mengatur dlm Permenkes No 5 Th 2014 ttg Diagnosa yang harus tuntas di Faskes Primer, (diikuti KMK 514 th 2016) dimana diagnosa-diagnosa tersebut juga merupakan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Dokter Umum) yg diatur Konsil Kedokteran Indonesia, dan diagnosa-diagnosa dalam Permenkes No 5 Th 2014 tersebut termasuk ke kategori diagnosa non spesialistik, ada 155 diagnosa yg termasuk diagnosa non spesialistik/ merupakan kompetensi dokter umum.
Untuk realisasinya bagi faskes primer yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan melayani peserta JKN, pelaksanaan Permenkes No 5 Th 2014 ini diikutkan sbg salah satu poin penilaian Pembayaran Kapitasi Berbasis Komitmen (Pay For Performance), dg menghitung berapa persen jumlah rujukan ke RS untuk kasus yangg termasuk diagnosa non spesialistik yang seharusnya dapat tuntas di Faskes Primer dibanding dg jumlah rujukan Faskes primer itu seluruhnya. 155 Diagnosa itu pun kan jg blm tentu bs dipenuhi seluruhnya oleh Faskes Primer terkait kendala keterbatasan fasilitas/geografis/nakes.
Nah, untuk itu ada mekanisme peer review, dimana Faskes memilih / menentukan / menyepakati sendiri diagnosa non spesialistik mana saja yg memang dirasa mampu utk dituntaskan di faskes primernya sdr, mempertimbangkan fasilitas,sdm dan geografis d faskes itu sdr. Rujukan kasus non spesialistik ke RS jg sebenarnya tidak boleh dipandang secara 'kaku'. Dalam artian, misal, utk pasien essential hypertension (yg masuk kategori diagnosa non spesialistik dan banyak faskes primer yg merasa mampu / sepakat utk menuntaskan diagnosa tsb di tempatnya), silakan saja dirujuk ke RS bila dokter di faskes primer ini mempertimbangkan ada kondisi lain scr indikasi medis pada diri pasien, seperti : Time (lama penyakit diderita), Age (usia pasien), Comorbidity dan Complication.
Jumlah kasus non spesialistik yang dirujuk ke RS, yg terekam dlm sistem, tentu akan menjadi feedback atau masukan bagi Dinkes setempat utk menyediakan fasilitas/obat-obatan/ peningkatan jumlah/kompetensi nakes yg diperlukan. Utk melihat penyebab mengapa kasus2 yg seharusnya merupakan kompetensi dokter umum yg telah ditetapkan regulasi, malah banyak dirujuk ke dokter spesialis di RS. Misal,tingginya kasus cerumen extraction (ekstraksi cairan serumen telinga) dari Faskes Primer ke RS dapat menjadi masukan bagi Dinkes agar menyediakan fasilitas THT kit di Faskes Primer.
Yuks Gotong-royong Demi Indonesia yang lebih SEHAT :) (source : google.com) |
Sistem rujukan ini juga memperkuat dan diperkuat dengan regulasi-regulasi lain tentang rujukan berjenjang dan pelayanan bagi peserta JKN. Poin lain dalam Pay For Performance atau Pembayaran Kapitasi berbasis Komitmen yang juga dijadikan sebagai upaya penguatan PHC dan melihat utilisasi pelayanan di Faskes Primer yaitu angka kontak. Angka Kontak didefinisikan sebagai jumlah peserta JKN baik sehat dan sakit yang terdaftar dlm suatu Faskes Primer yg melakukan kontak thdp layanan Faskes Primer tersebut, tanpa memperhitungkan frekuensi kunjungannya. Idealnya 150 org per 1000 orang / 150 per mil. Hal ini bertujuan agar, faskes primer betul-betul memperhatikan kesehatan peserta JKN yg sudah terdaftar padanya/mempercayakan pilihan faskes primer padanya, minimal dikontak utk dilakukan skrining resiko kesehatan/vaksin/imunisasi/pemberian edukasi. Ketiga, yang juga terdapat dalam penilaian pembayaran Kapitasi Berbasis Komitmen adalah Pemantauan Peserta Prolanis, utk melihat apakah peserta dengan penyakit kronis seperti DM dan HT yang terdapat dalam faskes tersebut dan terdaftar sebagai peserta yg diikutkan dalam Program Pengelolaan Penyakit Kronis benar-benar sudah dipantau kesehatannya secara rutin oleh Faskes tersebut.
Jadi, penguatan Fasilitas Kesehatan Primer dan pembayaran kapitasi yang diperkuat dengan sistem Kapitasi Berbasis Komitmen ini adalah suatu hal yang saling berkaitan.
Anw kalian udah pada ikutan JKN kan ? Jangan lupa untuk taat membayar preminya setiap bulan ya untuk mengurangi Defisit kesekian kalinya :)
0 Comments